Minggu, 19 Juli 2009

Kutubus sittah dan Katagorinya

A. PENDAHULUAN.

Dalam literatur islam, hadis nabi Muhammad SAW menempati urutan kedua setelah Al quranul karim sebagai sumber utama Syariat Islam, Fungsi hadist nabi tidak saja sebagai penjelas terhadap hal-hal yang masih sangat umum dalam Al qur’an,tapi juga menjadi sumber agama baru di dalam hal-hal yang tidak di jelaskan di dalam alqur’an, dalam hal ini menjadi sangat penting untuk mengetahui dan mendalami permasalahan2 yg ada di dalam hadist nabi Muhammad SAW.
Berbicara tentang Hadist nabi maka kita juga harus berbicara tentang kitab2 yang memuat hadist2 nabi tersebut, maka dalam hal ini Kutubussittah (kitab yang enam) adalah pedoman utama mereka yang hendak atau sedang mendalami hadist2 nabi Muhammad SAW tsb.
Ada beberapa istilah bagi kitab2 hadist,baik kutubussittah atau kitab2 hadist secara umum, yaitu; Shohih,Jami’, Musnad, sunan, dan Mustadrak
Kitab Shohih seperti Shohih Bukhori dan Shohih Muslim berarti bahwa kitab tersebut hanya memuat hadist-hadist Shahih saja dan meninggalkan hadist yg bermasalah baik itu dalam sanad atau matannya,walau begitu bukan berarti semua hadist shohih termuat dalam kedua kitab tersebut.
Jami’ atau Kitab Al-Jami’ yang dimaksud disini adalah kitab yang terkenal dengan sebutan Jami’ Tirmdzi yaitu salah satu kitab yang menjadi rujukan penting berkaitan masalah hadits dan ilmunya dan juga termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok dibidang hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal, kitab ini banyak menjelaskan tentang fiqih, kitab ini juga terkenal dengan nama Sunan At-Tirmidzi.
Kitab Sunan Tirmidzi ini sangat penting, karena kitab ini betul-betul memperhatikan ta’lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara explicit hadits yang shohih, itulah penyebab mengapa kitab ini berada di tingkatan 4 dalam urutan kutubus sittah, berbeda dengan pendapat H. Khalfah (w 1657) mengaggap bahwa kitab ini adalah urutan ke-3 dalm kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulanya
Musnad artinya yang disandarkan.Jadi kalau dikatakan sanad berarti rangkaian para perawi dari mukhorrij atau mudawwin paling akhir sampai rowi yang pertama langsung menerima dari Rosulullah SAW.Misalkan Musnad Imam Syafi’ie,maka itu artinya hadits-hadits yang dikumpulkan Imam Syafi’ie,sedang cara pengumpulannya ialah tiap-hadits yang diriwayatkan oleh sahabat secara berurutan,misalnya sahabat Ibnu Abbas,lalu Umar,Aisyah,Abu Hurairah dan demikian seterusnya.Oleh karena itu kitab hadits yang bernama Musnad,fasal-fasalnya tidak berurutan seperti kitab fiqih,misalnya fasal thoharoh dulu,baru fasal sholat,zakat,fasal haji.Kemudian dilanjutkan fasal Mu’amalat seperti jual beli dan lain-lain.Diteruskan dengan fasal Munakahat atau yang berhubungan dengan pernikahan,perceraian,fasakh nikah,ruju’ dan sebagainya.Kemudian masuk bab Jinayat atau pelanggaran undang-undang dan masing-masing hukuman yang wajib diberikan terkait dengan pelangaran-pelanggaran tersebut,lalu disambung dengan bab-bab fiqih yang lainnya hingga selesai.
jadi jelas kitab musnad itu isinya tidak beraturan dan berurutan masalah demi masalah yang diketengahkannya.Bab-bab dalam musnad itu,fasal-fasalnya adalah perihal rowi-rowinya yang diutamakan,maka didalamnya terdapat fasal Aisyah,fasal Abdullah bin Umar,Abu Hurairah,Abdullah bin Abbas dan seterusnya dari mulai rowi yang terbanyak meriwayatkan hadits sampai yang paling sedikit.
Sunan ialah kitab hadits yang bab-babnya diurutkan menurut urutan fasal-fasal yang berhubungan dengan fiqh,seperti bab thoharoh dulu,lalu mu’amalat,munakahat,jinayat dan sampai akhirnya menurut rangkaian urutan persoalan-persoalan fiqh.
Seputar Kitab al-Mustadrak karya al-Hâkim, Shahîh Ibn Khuzaimah dan Shahîh Ibn Hibbân 
al-Mustadrak karya al-Hâkim
  Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut.
  Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits.
























B. SHAHIH BUKHORI.

1. Sepintang tentang Imam Bukhori (194-256 H)

Beliau adalah ; Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al Mughiroh bin Bardizbah al ja’fi al Bukhori. Dilahirkan hari Jum’at 13 Syawal 194 H di kota Bukhara.
Pada usianya yang relatif masih muda ia sudah mampu menghafal tulisan beberapa ulama’ hadits yang ada di negrinya. Masih pada usia relatif muda berumur ± 16 th pula ia pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 210 H. Selanjutnya tinggal di Madinah dan menulis sejarah yang terkenal Tarikh al-Kabir, disamping makam Nabi Muhammad SAW.
  Al-Bukhori tergolong orang yang memiliki sifat penyabar dan memiliki kecerdasan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Kecerdasan dan Ketekunan dalam mempelajari hadis-hadis itulah kemudian diberi gelar Amir al-Mu’minin fi al-Hadits, oleh ulama’-ulama’ hadits pada zamanya. Di samping sifat penyabar dan kecerdasan itu, ia juga terkenal mempunyai sifat Wara’ dalam menghadapi kehidupan, dan ahli ibadah.
  Al Bukhori menghafal 100.000 hadits shohih dan 200.000 hadits yang tidak shohih , suatu kemampuan menghafal yang jarang ada tandinganya.
  Salah satu karya besar yang monumental dalam kitab hadis yang ditulis oleh Bukhori adalah kitab Jami’ al-shohih, kitab Jami’ al-shohih ini dipersiapkan selama 16 tahun. Ketika hendak memasukkan hadis ke dalam kitab ini , ia sangat berhati-hati.
  Hal ini terlihat setiap ia hendak mencantumkan hadits dalm kitabnya didahului mandi , berwudlu, dam shalat istikhoroh meminta petunjuk kepada Allah tentang hadits yang ditulisnya. Bukhori menyatakan: Saya tidak memasukkan dalam kitab Jami’ku ini kecuali yang shohih saja. Al Bukhori meninggal di desa Khartank kota Samarkand pada tanggal 30 Ramadhan tahun 256 Hijriyah. 

2. Yang mendorong menyusun Jami’us Shahih.

Al-Bukhari menyusun kitab itu karena atas dorongan dan anjuran gurunya bernama Ishaq bin Rahawaih yang berkata, “Hendaklah kamu menyusun kitab yang khusus berisi sunnah (hadits) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih”. Al-Bukhari berkata, “Ucapan itu merasuk dan membekas dalam hatiku, lalu aku menyusun Jami’us Shahih”.
Beliau juga pernah berkata, “Aku bermimpi berjumpa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seolah-olah aku berada di depannya, sambil membawa untuk menjaga beliau dari gangguan. Lalu aku bertanya kepada ahli-ahli tabir mimpi. Dia menjelaskan kepadaku, “Engkau akan mencegah pemalsuan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Mimpi inilah yang mendorongku untuk membuat kitab Jami’us Shahih”.

3. Metode Al-Bukhari dalam menyusun Jami’us Shahih.

Untuk menyusun hadits shahih, al-Bukhari telaha menempuh cara tertentu sehingga keshahihan haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha keras untuk meneliti keadaan para perawi untuk memastikan keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Beliau selalu membanding-bandingkan hadits yang satu dengan lainnya, meneliti dan memilih hadits yang menurutnya paling shahih. Sebagaimana penegasan imam al-Bukhari, “Aku menyusun kitab Jami’us Shahih ini (adalah hasil saringan) dari 600.000 hadits selama 16 tahun”.
Disamping menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya, al-Bukhari tidak mengabaikan aspek ruhani. Salah satu muridnya yang bernama al-Firbari mengatakan, “Aku mendengar Muhammad bin ismail al-Bukhari berkata, ‘Aku menyusun Jami’us Shahih ini di Masjidil Haram. Aku tidak akan memasukkan satu hadits pun ke dalam kitab itu sebelum shalat istikharah dua rakaat dan setelah itu aku betul-betul meyakini bahwa hadits itu shahih”.
Maksudnya, imam al-Bukhari mulai menyusun bab dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram, kemudian menulis pendahuluan dan pembahasannya di Raudah (tempat antara makam Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mimbar). setelah itu beliau mengumpulkan hadits dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Semua itu dilakukan di Makkah, Madinah dan beberapa negara di tempat pengembaraannya. Dengan tekun dan cermat, al-Bukhari menyusun kitab Jami’us Shahih selama enam belas tahun. Beliau meneliti, menyaring dan memilih hadits sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkannya. Sehingga terwujudlah kitab itu sesuai keinginannya.
Jerih payah maksimal yang dicurahkan untuk menyusun kitab itu membuat Jami’us Shahih mencapai kebenaran dan mempunyai kedudukan tinggi di hati para ulama dan seluruh umat Islam. Sudah tepatlah bila ia mendapat predikat sebagai “Kitab hadits Nabi yang paling shahih”.
4. Sistematika Kitab Shahih al-Bukhari

Shahih al-Bukhari terdiri dari beberapa kitab. Dia memulai dengan bab permulaan wahyu, yang menjadi dasar utama bagi syariat Islam. Kemudian disusul dengan kitab iman, kitab ilmi, kitab thaharah, kitab shalat, kitab zakat dan seterusnya. Dalam beberapa naskah terdapat perbedaan mengenai urutan antara kitab shaum dan kitab haji.
Kemudian kitab buyu’, muamalah, murafaat (hukum acara), syahadat, sulh (perdamaian), wasiat, wakaf dan jihad. Selanjutnya bab-bab yang tidak menyangkut fiqih seperti tentang penciptaan mahluk, riwayat para Nabi, cerita surga dan neraka, manaqib Quraisy dan keutamaan shahabat.
Selanjutnya bab sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dan maghazi (peperangan) serta hadits yang berkaitan dengannya. Lalu kitab tafisr, kemudian kembali lagi ke masalah fiqih mengenai nikah, talaq dan nafakah, kemudian kitab at’imah (makanan), asyribah (minuman), kitab tibb (pengobatan), kitab adab (etika), birr (kebaikan), silah (silahturahmi), dan isti’zan (minta izin). Kemudian kitab nuzur (nazar) dan kifarat, hudud (hukum pidana), ikrah (pemaksaan), ta’bir ru’yah (penafsiran mimpi), fitan (fitnah), ahkam (peraturan hukum). Dalam kitab ini juga dimuat mengenai para penguasa dan para hakim. Kemudian kitab i’tisam bil kitab was sunnah (berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasul) dan yang terakhir kitab tauhid, sebagai penutub kitab shahihnya yang terdiri dari 97 kitab dan 3.450 bab.
Namun perlu diketahui, dalam naskah-naskah yang ada, terdapat beberapa perbedaan, yaitu ada “kitab” yang dianggap sebagai ‘bab”, juga sebaliknya, ada “bab” yang dianggap “kitab”. Hal ini dapat diketahui melalui muraja’ah atau penelitian terhadap matan shahih al-Bukhari yang sudah dicetak dan syarahnya.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari ada beberapa bab yang memuat banyak hadits. Ada pula bab yang hanya berisi satu hadits, dan ada pula bab yang berisi ayat-ayat al-Qur’an tanpa hadits, bahkan ada pula yang kosong tanpa isi. Tampaknya imam al-Bukhari belum mendapatkan hadits untuk mengisi bab itu sesuai dengan kriterianya. Oleh karena itu bab tersebut dibiarkan kosong, dengan harapan suatu saat akan menemukan hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat keshahihannya. 

5. Jumlah Hadis dalam Kitab jami’us Shahih

Ibnu Salah dalam Muqaddimahnya menyebutkan jumlah hadits shahih al-Bukhari sebanyak 7.275 buah, termasuk hadits yang berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Syaikh Muhyidin an-Nawawi dalam kitabnya at-Taqrib.
Ibnu Hajar telah menghitung hadits shahih al-Bukhari dengan teliti. Kejelian penghitungan ini ditunjang oleh penulisan Syarah kitab shahih itu (Fathul Bari). Diakhir setiap bab, ia menyebutkan jumlah hadits Maushul yang marfu, hadits mu’allaq dan hadits muttabi’, serta perkataan para shahabat dan tabi’in. Maka dari itu hasil perhitungan yang dilakukannya itu lebih baik dibanding ulama lain.
Dalam muqaddimah Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa:
Seluruh hadits shahih al-Bukhari yang maushul tanpa mengulang sebanyak 2.602 buah
Jumlah matan hadits mu’allaq namun marfu’ yang tidak disambung pada tempat lain sebanyak 159 buah
Jumlah semua hadits termasuk yang diulang sebanyak 7.397 buah
Jumlah hadits mu’allaq sebanyak 1.341 buah
Jumlah seluruhnya termasuk yang diulang sebanyak 9.082 buah. 


C. Imam Muslim (204 H-261H=820 M-875M)

1. Sepintas tentang beliau

Beliau adalah ; Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi. Ia termasuk salah seorang dari ulama’-ulama’ hadits yang terkenal. Dilahirkan di Naisabur pada tahun 204 Hijriyah. Sejak masih kecil, ia sudah mulai tertarik untuk menuntut ilmu. Berbagai tempat telah dikunjunginya untuk memenuhi kegemaranya tersebut.
  Muslim menerima hadits dari beberapa orang gurunya, disamping itu pula dia menerima dari al-Bukhori sendiri, selanjutnya karir intelektualanya mengikuti al-Bukhori terutama dalam menulis kitab shahihnya. Hubungan keduanya sangat intim sekali, dan Muslim sangat menghormati al-Bukhori.
Muslim bukanlah orang yang fanatik terhadap pendapatnya sendiri. Dia selalu tersenyum sebagai ulama yang selalu mencari kebenaran. Dia tidak merasa terhina dan rendah apabila menerima kebenaran yang datang dari orang lain, bahkan sikap ini dipandang sebagai perbuatan yang terpuji.
Setelah menyusun kitab shahih itu, Muslim memperlihatkannya kepada para ulama hadits untuk diperiksa. Al-Khatib meriwayatkan dari Makki bin Abdan, salah seorang hafizh dari Naisabur, ia berkata, “Saya mendengar Muslim berkata, ‘Aku memperlihatkan kitabku ini kepada Abu Zur’ah ar-Razi. Semua hadits yang ditunjukkan ar-Razi ada kelemahannya, aku tinggalkan. Dan semua yang dikatakan shahih, itulah yang kutulis”. Itulah sikap rendah hati imam Muslim yang tidak terbujuk oleh hawa nafsu dan bangga atas pendapatnya sendiri. Sikap seperti itulah yang dipakai dalam kode etik pengkajian Islam.

2. Metode Imam Muslim dalam shahih-nya

Imam Muslim tidak menetapkan syarat tertentu yang dipakai dalam shahih-nya, tetapi para ulama telah menggali syaratnya itu melalui pengkajian terhadap kitabnya. Mereka menyimpulkan bahwa syarat yang dipakai dalam Shahih Muslim ialah:
ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang adil, kuat hafalannya, jujur, amanah, tidak pelupa. Dia juga meriwayatkan dari perawi yang memiliki sifat-sifat lebih rendah dari sifat tersebut diatas
Dia sama sekali tidak meriwayatkan kecuali hadits musnad (sanadnya lengkap), muttasil (sanadnya bersambung), dan marfu’ (disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
Berarti Muslim tidak selamanya harus berpegang teguh pada ketentuan sebagaimana yang dipakai oleh imam al-Bukhari, yaitu tingkatan tertentu dalam periwayatan dan para perawi. Karena itu, dia meriwayatkan hadits dari perawi yang haditsnya tidak dicantumkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Agar lebih jelas, mari membicarakan lagi syarat-syarat imam al-Bukhari dalam shahih-nya. Murid-murid Ibnu Syihab az-Zuhri dibagi menjadi lima tingkatan: pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Masing-masing tingkatan mempunyai keistimewaan lebih tinggi dari tingkatan berikutnya.
Al-Bukhari hanya meriwayatkan hadits dari murid tingkat pertama dan sedikit sekali meriwayatkan hadits dari murid tingkat kedua, itupun bukan hadits utama. Sedangkan Muslim meriwayatkan hadits dari murid tingkat kedua, juga meriwayatkan dari tingkat ketiga, meskipun dalam jumlah sedikit dan terbatas pada hadits muttabi’ dan hadits syahid, bukan hadits utama. Imam Muslim dalam muqaddimahnya memberikan penjelasan yang lebih gamblang mengenai syarat yang dipakai dalam shahih-nya. Dia membagi hadits dalam tiga macam:
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalannya
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak diketahui keadaannya (mastur) dan kekuatan hafalannya dipertengahan
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah hafalannya, dan banyak salahnya
Apabila Muslim meriwayatkan hadits dari kelompok pertama, dia selalu meriwayatkan hadits dari kelompok kedua. Muslim tidak meriwayatkan dari kelompok ketiga

3.Bab-Bab dalam Shahih-Muslim

Imam Muslim tidak membuat judul setiap bab secara praktis. Dia hanya mengelompokkan hadits-hadits pada satu tema pada satu tempat. Dengan demikian, kitab shahih terdapat seakan-akan telah tersusun secara sistematis menjadi beberapa bab.
Muslim melakukan demikian mungkin untuk mengasah otak para pembaca kitabnya, agar mempergunakan akalnya untuk mengkaji, menggali, menemukan maksud dan tujuan hadits.
Adapun judul kitab dan bab yang terdapat pada Shahih Muslim yang sudah dicetak sebenarnya bukan ditulis oleh Muslim, melainkan ditulis oleh pensyarah Shahih itu yang hidup sesudahnya.
Orang yang paling baik membuat judul bab sistematikanya adalah Imam Nawawi dalam syarahnya.

4.Jumlah hadits Shahih Muslim

Ahmad bin Salamah, penulis naskah Shahih Muslim mengatakan bahwa Shahih Muslim itu berisi 12.000 hadits. Namun Ibnu Salah menyebutkan dari Abi Quraisy bahwa jumlah hadits Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah. Kedua pendapat itu dapat dikompromikan karena perhitungan pertama memasukkan hadits yang diulang-ulang, sedangkan perhitungan yang kedua hanya menghitung hadits yang tidak terulang.
Sebagian penulis ada yang salah hitung, seperti Prof Ahmad Amin dalam bukunya Duhal Islam. Ia mengatakan bahwa hadits Shahih Muslim termasuk yang terulang sebanyak 7.275 hadits. Sebenarnya hitungan ini dari Ibnu Salah untuk Shahih al-Bukhari bukan untuk Shahih Muslim.

5. Perbandingan antara Shahih al-Bukhari dan Muslim

Para ulama sepakat bahwa kitab hadits yang paling shahih adalah kitab shahih al-Bukhari dan Muslim. Dan kitab al-Bukhari lebih shahih dibanding Muslim.
Imam an-Nasa’i berkata, “Tidak ada kitab hadits yang paling baik selain kitab karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari”. Yang dimaksud dengan “baik” adalah “shahih”. Pengakuan dari ulama seperti an-Nasa’i ini adalah pengakuan yang jujur. Sebab imam an-Nasa’i adalah ulama hadits yang sangat teliti, kritis dan tidak sembarangan berkata, serta ulama terkemuka di masanya.
Ad-Daraquthni mengatakan, “Seandainya tidak ada al-Bukhari niscaya tidak ada Muslim”.
Namun perkataan Abu Ali an-Naisaburi lebih mengutamakan imam Muslim. Dia pernah berkata, “Tidak ada di kolong langit ini kitab yang lebih shahih selain kitab Muslim bin Hajjaj”. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama maghribi dan Abu Muhammad ibnu Hazim az-Zahiri.
Sebenarnya, orang yang mengutamakan Shahih Muslim ini disebabkan :
Karena kebagusan dan susunannya teratur
Hadits yang periwayatannya sejalan dan dalam satu tema dikumpulkan disatu tempat, tanpa memotong hadits untuk dimasukkan ke bab lain
Disamping itu, dia hanya meriwayatkan hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf dan mu’allaq.

D.Imam Abu Dawud(202 H-275 H = 817 M 889 M)

1. Sepintas tentang beliau 

Beliau adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq As-Sijistany. Beliau di nisbatkan kepada tempat kelahiranya, yaitu di Sijistan (terletak antara Iran dengan Afganistan). Beliau dilahirkan di kota tersebut, pada tahun 202 H. (817 M)
Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmu.
Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang buana ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengembaraannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulangkali mengunjungi Baghdad. Di kota itu, dia mengajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab Sunan sebagai buku pegangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernurnya yang mengharapkan Bashrah menjadi kiblat bagi ulama dan pelajar hadits.
Beliau wafat pada tahun 275 H. (889 M) di Bashrah.

2. Kitab karangan Abu Dawud

Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
as-Sunan
al-Marasil
al-Qadar
an-Nasikh wal Mansukh
Fadha’ilul Amal
az-Zuhud
Dalailun Nubuwwwah
Ibtida’ul Wahyu
Ahbarul Khawarij
Diantara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.

3.Metode penyusunan KITAB SUNAN ABU DAWUD

Penyusunan kitab hadits baik berupa Jami’ ataupun Musnad dan sebagainya, disamping memuat hadits hukum juga mencantumkan hadits mengenai amalan yang terpuji (fadha’ilul amal), kisah-kisah, nasihat, adab dan tafsir. Cara seperti ini terus berlangsung sampai periode Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitab yang khusus memuat sunnah dan hadits hukum. Ketika selesai menyusunnya, Abu Dawud memperlihatkan kitab itu kepada imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad mengatakan bahwa kitab itu bagus dan baik.
Dalam kitab itu, Abu Dawud tidak hanya memuat hadits shahih saja –sebagaimana al-Bukhari dan Muslim- tetapi dia juga memasukkan hadits hasan dan dhaif yang tidak ditinggalkan (dibuang) oleh ulama hadits. Apabila dia mencantumkan hadits dhoif maka dia juga akan menjelaskan kelemahan hadits tersebut.
Metode seperti ini dapat diketahui dari suratnya yang dikirimkan ke penduduk Makkah, sebagai jawaban dari pertanyaan mereka mengenai kitab sunannya. Abu Dawud menulis sebagai berikut: “Aku telah menulis hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 500.000 hadits. Dari sekian itu, aku memilih 4.800 hadits yang kemudian kutulis dalam kitab sunan itu. Dalam kitab itu, kuhimpun hadits shahih, semi shahih, dan yang mendekati shahih. Dan aku tidak akan mencantumkan hadits yang ditinggalkan oleh para ulama. Hadits yang sangat lemah aku beri penjelasan. Sebagian hadits lemah ini sanadnya tidak shahih.
Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut adalah shahih, dan sebagian lebih shahih dari yang lain. Setelah al-Qur’an, saya belum mengetahui kitab yang harus dipelajari selain kitab ini. Empat hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan beragama bagi setiap orang. 

4.Jumlah hadits Sunan Abu Dawud 

Sebagaimana yang telah disebutkan, jumlah hadits yang terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud sebanyak 4.800 buah. Namun sebagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 hadits. Perbedaan ini disebabkan sebagian orang menghitung hadits yang diulang sebagai satu hadits, sedangkan yang lain menganggap dua hadits atau lebih. Dua cara menghitung seperti ini sudah dikenal di kalangan ulama hadits.
Abu Dawud membagi sunannya dalam beberapa kitab, dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, diantaranya ada tiga kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1.871 buah. 

5.Hadits Abu Dawud yang dikritik

Imam Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits Abu Dawud dan memandang sebagai hadits maudlu (palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak sembilan buah. Disamping Ibnul Jauzi, sudah dikenal sebagai orang yang terlalu menggampangkan mengatakan “Maudlu”, kritikan tersebut telah dibantah oleh sebagian ahli hadits, seperti Jalaluddin as-Suyuthi.  

D. Imam AT-Turmudzi(200 H-279 H= 824 M-892 M)

1.Sepintas tentang beliau

Beliau adalah Abu Isa Muhammad bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi. Beliau adalah ulama hadits ternama dan penulis beberapa kitab yang terkenal. Dia dilahirkan di kota Tirmiz.
Kakek at-Tirmidzi berasal dari daerah Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan hidup disana. Di kota itulah Abu Isa dilahirkan. Sejak kecil dia sudah senang mempelajari ilmu dan hadits. Dia pergi ke beberapa negeri seperti Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perjalanan itu dia bertemu dengan ulama besar ahli hadits untuk memperoleh hadits, kemudian dihafal dan dicatatnya baik di tengah perjalanan maupun ketika sudah sampai di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktu begitu saja, sebagaimana dapat diketahui dalam kisah pertemuannya dengan seorang syaikh di perjalanan menuju Makkah.
Setelah melakukan perjalanan panjang untuk belajar dan berdiskusi, serta mengarang, pada akhirnya dia hidup sebagai tunanetra. Beberapa tahun kemudian beliau meninggal dunia. Beliau wafat di Tirmiz pada malam senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.

2. MENGENAL KITAB JAMI’ AT-TIRMIDZI

Kitab ini adalah salah satu hasil karya imam at-Tirmidzi terbesar dan paling berharga. Ia termasuk salah satu dari Kutubus Sittah (enam hadits pokok) dan kitab yang ternama. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ at-Tirmidzi dinishbahkan kepada penulisnya, yang juga dikenal dengan nama Sunan at-Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang termasyur.
Sebagian ulama tidak keberatan menyebutkan kitab itu sebagai as-Shahih at-Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebagaimana yang akan dibahas nanti.
Setelah menyusun kitab ini, at-Tirmidzi memperlihatkannya kepada para ulama dan mereka gembira menerimanya. Dia mengatakan, “Setelah selesai menyusun, aku tunjukkan kitab itu kepada ulama di Hijaz, Irak dan Khurasan. Mereka menerimanya dengan gembira. Barangsiapa menyimpan kitab ini dirumahnya maka di rumahnya itu seakan-akan ada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang selalu berbicara”.









3.Metode at-Tirmidzi dalam Al-Jami’

Dalam kitab al-Jami’, at-Tirmidzi tidak hanya meriwayatkan hadits shahih saja, tetapi juga meriwayatkan hadits hasan, dhoif, gharib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Disamping itu, dia tidak meriwayatkan hadits kecuali yang diamalkan oleh ahli fiqih. Metode ini merupakan syarat yang longgar. Oleh karena itu dia meriwayatkan hadits baik yang shahih atau yang tidak shahih. Tetapi dia selalu memberikan penjelasan sesuai dengan derajat haditsnya.
At-Tirmidzi pernah berkata, “Semua hadits yang terdapat di dalam kitab ini dapat diamalkan”. Oleh karena itu, sebagian ulama memakainya sebagai pegangan kecuali dua hadits:
Pertama, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat zhuhur dengan ashar, dan maghrib dengan ‘isya tanpa sebab “takut” atau “dalam perjalanan, Bunyi hadistnya ; كان يصلي الظهر والعصر جميعا والمغرب والعشاء جميعا في غير خوف ولا سفر
Kedua, “Jika peminum khamr meminum lagi yang keempat, maka bunuhlah ia ”.
Bunyi hadistnya ;انه قال في شارب الخمر اذا شرب فاجلدوه ثم اذاشرب فاجلدوه ثم اذا شرب الثالثة فاجلدوه ثم اذا شرب الرابعة فاضربوا عنقه 
Hadits tentang “menjama’ shalat”, para ulama tidak sepakat meninggalkannya. Sebagian besar dari mereka berpendapat, menjama’ shalat tanpa ada sebab “takut” atau dalam “perjalanan” hukumnya boleh, asalkan tidak dijadikan kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, Ibnu Mundzir dan sebagian besar ulama fiqih dan hadits.
Tentang hadits mengenai “peminum khamr”, telah dijelaskan sendiri oleh at-Tirmidzi. Dan menurut ijma’ ulama, hadits tersebut sudah dimansukh.
Hadits dhoif dan munkar yang terdapat pada kitab ini pada umumnya hanya menyangkut fadha’ilul amal (anjuran melakukan kebaikan). Persyaratan bagi hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits tentang halal dan haram.
Salah satu kritikan terhadap at-Tirmidzi, antara lain karena dia meriwayatkan hadits dari al-Maslub dan al-Kilbi. Padahal kedua orang itu “tertuduh” telah membuat hadits palsu. Inilah sebabnya mengapa kedudukan Jami’ at-Tirmidzi lebih rendah dari Abu Dawud dan an-Nasa’i.
Meskipun Jami’ at-Tirmidzi mendapat kritikan, namun di sisi lain ia memiliki beberapa keistimewaan.

4.Keistimewaan Jami’ at-Tirmidzi 

Majduddin Ibnul Asir dalam muqaddimah kitabnya, Jami’ul Ushul mengatakan: “Kitab shahih at-Tirmidzi ini merupakan kitab yang baik, banyak faedahnya, bagus sistematikanya dan sedikit pengulangan isinya. Di dalamnya banyak keterangan penting yang tidak ditemukan pada kitab lain, seperti pembahasan mengenai mahdzab-mahdzab, cara beristidhal dan penjelasan tentang hadits shahih, hasan dan gharib. Juga pembahasan mengenai jarh dan ta’dil, dan di akhir kitab Jami’ itu dilengkapi dengan kitab al-Ilal. Garis besarnya kitab ini sangat berharga dan berfaedah bagi yang mempelajarinya.

5.Hadits Jami’ at-Tirmidzi yang Dikritik

Sebagian ulama hadits mengkritik beberapa hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan menilainya sebagai hadits maudlu (palsu). Mereka yang mengkritik itu antara lain al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam kitab Maudu’at, serta Ibnu Taimiyah dan muridnya yang bernama adz-Dzahabi. Jumlah hadits yang dikritik oleh Ibnul Jauzi sebanyak tiga puluh buah, tetapi predikat “maudlu” yang ditempatkan pada hadits itu telah dibantah oleh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi.
Sebenarnya sebagian besar hadits yang hanya menyangkut fadhailul amal ada yang bisa disebut maudlu, tetapi ada pula yang tidak maudlu. Jika pengkritik menilainya palsu, maka at-Tirmidzi menilai tidak demikian. Sebab hampir tidak ada seorang imam hadits meriwayatkan hadits maudlu, yang dia sendiri sudah mengetahuinya, kecuali jika disertai dengan penjelasannya. Terlepas dari itu semua, jumlah hadits yang dikritik itu sedikit sekali bila dibandingkan dengan ribuan hadits yang terdapat dalam kitab al-Jami’ dan tidak mengurangi kedudukan kitab itu sebagai pegangan. 

E. Imam An-Nasa’iy (215 H-303 H)=(839 M-915 M)

1.Sepintas tentang beliau

Dia adalah ulama terkemuka melebihi ulama lain di masanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul Tazkirah, nama lengkap imam an-Nasa’i adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahar al-Khurasani al-Qadhi. Dialah pengarang kitab sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Dilahirkan di daerah Nasa pada tahun 215 H. Ada yang berpendapat dia dilahirkan tahun 214 H. Dia lahir dan dibesarkan di Nasa. Ia menghafalkan al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu dasar dari guru-guru madrasah di negerinya. Setelah menginjak remaja, dia senang mengembara untuk mendapatkan hadits. Sebelum berusia lima belas tahun, dia pergi ke Hijaz, Irak, Mesir dan Jazirah untuk belajar hadits dari ulama-ulama negeri itu, sehingga an-Nasa’i menjadi ulama hadits terkemuka yang mempunyai sanad ‘Ali (sedikit sanadnya). n-Nasa’i tinggal di Mesir di jalan Qanadil hingga setahun menjelanf wafatnya. Kemudian ia pindah ke Damaskus. Di tempat yang baru ini ia mengalami peristiwa tragis yang menyebabkan kematiannya.
Dikisahkan ketika dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyah, mereka seakan-akan mendesak an-Nasa’i agar menulis buku tentang keutamaan Mu’awiyah, sebagaimana ia menulis keutamaan Ali ra. An-Nasa’i menjawab kepada penanya itu: “Apakah kamu belum puas adanya kesamaan derajat antara Mu’awiyah dan Ali sehingga kamu merasa perlu mengutamakannya?” Mendengar jawaban seperti itu, mereka marah lalu memukulinya erta menginjak-injak kemudian menyeretnya keluar masjid sampai hampir meninggal dunia.
Tidak ada kesamaan pendapat tentang tempat beliau wafat. Ad-Daraquthni menjelaskan ketika ditimpa musibah di Damaskus itu, ia minta dipindahkan ke Makkah dan meninggal di tanah haram itu, kemudian dimakamkan di suatu tempat antara safa dan marwah. Begitu pula pendapat Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-Uqbi al-Misri dan ulama lainnya.
Imam adz-Dzahabi berbeda pendapat dengan pendapat diatas. Menurutnya, an-Nasa’i meninggal di Ramlah, Palestina. Ibnu Yunus dalam Tarikh-nya sependapat dengan adz-Dzahabi. Begitu pula Abu Ja’far ath-Thahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Mereka juga mengatakan bahwa an-Nasa’i wafat tahun 303 H dan dimaqamkan di Baitul Maqdis.

2. Tentang kitab Sunan Annasa’i.

Ketika selesai menyusun kitabnya, as-Sunanul Kubra, imam an-Nasa’i memberikan kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya, “Apakah isi kitab ini shahih semua?” Dia menjawab, “Ada yang shahih, ada pula yang hasan dan ada pula yang mendekati keduanya”. Sang amir berkata, “Pilihkan hadits yang shahih saja untukku”. Kemudian an-Nasa’i menghimpun hadits shahih saja dalam kitab yang diberi nama as-Sunanul Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqih seperti kitab sunan yang lain.
Imam an-Nasa’i sangat teliti dalam menyusun kitab Sunanul Sugra. Oleh karena itu, ulama berkata, “Derajat kitab Sunanul Kubra di bawah Shahih al-Bukhari dan Muslim. Karena sedikit sekali hadits dhoif yang terdapat di dalamnya”. Oleh karena itu hadits sunan ini yang dikritik oleh Abul Faraj Ibnu al-Jauzi dan dianggap sebagai hadits maudlu jumlahnya amat sedikit, yakni sebanyak sepuluh buah. Penilaian maudlu itu tidak sepenuhnya dapat diterima bahkan as-Suyuthi menyanggahnya. Dalam Sunan an-Nasa’i terdapat hadits shahih, hasan dan dhoif. Tetapi yang dhoif jumlahnya sangat sedikit. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits sunan itu shahih semua, adalah penilaian yang terlalu sembrono. Atau maksud pernyataan itu adalah sebagian besar isi Sunan itu adalah hadits shahih.
Sunanul Sughra yang dikatagorikan sebagai salah satu kitab hadits pokok yang dapat dipercaya menurut penilaian ahli hadits. Sedangkan di Sunanul Kubra tidak terdapat hadits yang ditinggalkan ulama. 
Apabila ada hadits yang dinisbahkan kepada an-Nasa’i misalnya dikatakan, “Hadits riwayat an-Nasa’i”, yang dimaksudkan ialah hadits yang terdapat dalam Sunanul Sughra. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “riwayat an-Nasa’i” adalah hadits yang terdapat dalam Sunanul Kubra, sebagaimana pendapat penulis kitab Aunul Ma’bud Syarhu Sunan Abi Dawud sebagai berikut: “Ketahuilah perkataan a-Mundziri dalam Mukhtasharnya dan perkataan al-Mizzi dalam al-Atraf-nya, “hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i”, maka yang dimaksud adalah hadits yang terdapat dalam Sunanul Kubra yang kini beredar di seluruh negeri seperti India, Arabia dan negeri-negeri lainnya. Oleh karena itu hadits yang dikatakan oleh al-Mundziri dan al-Mizzi, “Diriwayatkan oleh an-Nasa’i” adalah hadits yang terdapat pada Sunanul Kubra. Kita tidak usah bingung dengan tiada hadirnya kitab Sunanul Sughra, sebab isinya sudah tercakup dalam Sunanul Kubra. Al-Mizzi dalam beberapa tempat berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i dalam bab Tafsir”, padahal dalam Sunanul Sughra tidak terdapat bab tafsir, melainkan ada di Sunanul Kubra. Perlu diketahui Sunan an-Nasa’i adalah salah satu kitab hadits pokok yang menjadi pegangan umat Islam.

3. Periwayatan An-Nasa’i 

An-Nasa’i menerima hadits dari beberapa ulama terkemuka. Ketika berusia lima belas tahun, dia belajar ke Qutaibah selama empat belas bulan. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, Al-Haris bin Miskin, Ali bin Khasram dan Abu Dawud (penulis as-Sunan) dan at-Tirmidzi (penulis al-Jami’).
Banyak ulama yang meriwayatkan haditsnya. Diantara Abul Qasim ath-Thabrani (penulis tiga Mu’jam), Abu Ja’far ath-Thahawi, al-Hasan bin al-Khidir as-Suyuthi, Muhammad bin Mu’awiyah bin al-Ahmaar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni.

4.Fiqih an-Nasa’i 

Disamping ahli di bidang hadits, mengetahui perawi dan kelemahan hadits yang diriwayatkan, dia juga seorang ahli fiqih.
Ad-Daraquthni pernah berkata, “Di Mesir, an-Nasa’i adalah orang yang paling ahli di bidang fiqih pada masanya, dan paling mengetahui tentang hadits dan perawinya”.
Al-Hakim Abu Abdullah berkata: “Pendapat Abu Abdurrahman mengenai hadits fiqih sangat banyak jumlahnya jika ditunjukkan seluruhnya. Barangsiapa mengkaji kitabnya, as-Sunan, niscaya akan terpesona dengan keindahan kata-katanya. 
Ibnu Asir al-Jazairi menerangkan dalam Muqadimah Jami’ul Ushul-nya, an-Nasa’i bermahdzab Syafi’i dan mempunyai kitab manasik yang ditulis berdasarkan mahdzab Syafi’i Rahimahullaah.

6. Karya-Karyanya

Diantara kitab karya imam an-Nasa’i adalah:
as-Sunanul sughra
as-Sunanul Kubra, terkenal dengan nama al-Mujtaba
al-Khasa’is
Fadha’ilus Shahabah
a-Manasik
diantara karya tersebut, yang paling besar dan terkenal adalah kitab as-Sunan.


F. IMAM IBNU MAJAH (209-273 H/824-887 M)

1. Silsilah
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al Qazwini. Dilahirkan di Qazwin tahun 209 H, dan wafat tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya Abu Bakar dan Abdullah, serta puteranya Abdullah.

3. Perkembangan dan Pengembaraannya

Dia tumbuh sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama hadits dan periwayatannya. Untuk mendapatkan dan mengumpulkan hadits, ia mengembara ke beberapa negeri. Dia pergi ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah, dan kota-kota lain untuk mendapatkan hadits dari ulama setempat. Dia juga belajar kepada murid-murid Malik dan al-Laits. Akhirnya Ibnu Majah menjadi imam hadits terkemuka.

3. Guru dan Muridnya
Ibnu Majah belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Namir, Hisyam bin Ammar Muhammad bin Rumh, Ahmad bin al-Azhar, Basyir bin Adam dan ulama besar lainnya.
Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Muhammad bin Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibnu Sibawaih, Ishaq bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
4. Penghargaan Para Ulama
Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibnu Majah adalah orang besar yang terpercaya, jujur dan pendapatnya dapat dijadikan hujjah. Beliau memiliki pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits”. Adz-Dzahabi dalam Tazkiratul Huffaz menggambarkan beliau sebagai ahli hadits besar, mufassir, penyusun kitab sunan dan tafsir.
Ibnu Katsir, seorang ahli hadits dalam kitab Bidayah-nya berkata: “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah seorang pengarang kitab sunan yang termasyhur. Kitab itu merupakan bukti amal dan ilmunya yang luas”.
5. Karya-Karyanya

Ibnu Majah mempunyai banyak sekali kitab hasil tulisannya, antara lain:
» Kitab as-Sunan, salah satu dari Kutubus Sittah (enam kitab hadits)
» Tafsir al-Qur’an
» Kitab Tharikh, berisi sejarah sejak masa shahabat sampai masa Ibnu Majah 

6. MENGENAL SUNAN IBNU MAJAH
kitab ini adalah salah satu karya Ibnu Majah yang terbesar dan masih beredar sampai sekarang. Beliau menyusun sunan menjadi beberapa kitab dan bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab dan 1.500 bab. Jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah.
Kitab sunan ini disusun secara baik dan indah menurut sistematika fiqih. Beliau memulai sunan ini dengan bab mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam bab ini dia membahas hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.

7.Kedudukan Sunan Ibnu Majah diantara Kitab Hadits 

Sebagian ulama sudah sepakat bahwa kitab hadits yang pokok ada lima, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Tirmidzi.
Mereka tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah mengingat derajat kitab ini lebih rendah dari lima kitab tersebut.
Tetapi sebagian ulama menetapkan enam kitab hadits pokok, dengan menambah Sunan Ibnu Majah sehingga terkenal dengan sebutan Kutubus Sittah (enam kitab hadits).
Ulama pertama yang menjadikan kitab Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafizh Abdul Fadli Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat tahun 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul A’immatis Sittah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh al-Hafizh Abdul Ghani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat tahun 600 H) dalam kitabnya al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Pendapat mereka inilah yang diikuti oleh sebagian besar ulama.
Mereka memasukkan Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam tetapi tidak memasukkan al-Muwatta’ Imam Malik. Padahal kitab ini lebih shahih daripada kitab milik Ibnu Majah. Hal ini dikarenakan di dalam Sunan Ibnu Majah banyak terdapat hadits yang tidak tercantum dalam Kutubul Khamsah (lima kitab hadits), sedangkan hadits yang terdapat di dalam al-Muwatta’ seluruhnya sudah termaktub dalam Kutubul Khamsah.
Diantara para ulama ada yang menjadikan al-Muwatta’ ini sebagai kelompok Usulus Sittah (enam kitab hadits pokok), bukan Sunan Ibnu Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqasti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya ad-Tajrid fil Jami’Bainas Sihah. Pendapat Razin ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnu Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat tahun 606 H). Az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat tahun 944 H) dalam Taysirul Wusul juga punya pendapat demikian. Sebenarnya derajat al-Muwatta’ lebih tinggi dari Sunan Ibnu Majah. 


8. Nilai Hadits Sunan Ibnu Majah 
Sunan Ibnu Majah berisi hadits shahih, hasan dan dhoif bahkan hadits munkar dan maudlu, meskipun jumlahnya kecil. Dibandingkan dengan kitab sunan yang lain, nilai Sunan Ibnu Majah jauh dibawahnya. Al-Mizzi berkata: “Semua hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendirian adalah dhoif”.
Al-Hafizh Syihabuddin al-Busairi (wafat tahun 840 H) dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibnu Majah membahas hadits-hadits tambahan (Zawaid) di dalam Sunan Ibnu Majah yang tidak terdapat dalam Kutubul Khamsah, serta menunjukkan derajat hadits itu: shahih, hasan, dhoif atau maudlu. Usaha Busairi ini menguatkan bantahan terhadap pendapat al-Mizzi sekaligus menguatkan pendapat Ibnu Hajar.
Terlepas dari pro-kontra, yang jelas derajat Sunan Ibnu Majah lebih rendah dari Kutubul Khamsah dan merupakan kitab sunan yang paling banyak mengandung hadits dhoif oleh karena itu, sebaiknya tidak menjadikan hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai dalil kecuali setelah mengkajinya terlebih dahulu. Bila ternyata hadits tersebut shahih atau hasan, maka boleh dijadikan pegangan; jika dhoif, hadits tersebut tidak boleh dipakai. 

9. Hadits Sunan Ibnu Majah yang Dikritik

Sebagian ulama mengkritik Ibnu Majah, karena meriwayatkan hadits dari perawi yang tertuduh “berdusta” disamping meriwayatkan hadits maudlu.
Al-Hafizh Abu Faraj Ibnul Jauzi mengkritik tiga puluh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan menilainya sebagai hadits maudlu. Tetapi penilai maudlu terhadap hadits itu telah dibantah oleh Imam Suyuthi.
Sebenarnya sebagian besar hadits yang dikritik oleh Ibnul Jauzi itu bisa diterima, bahkan diantaranya terdapat beberapa hadits yang telah disepakati ulama sebagai “hadits maudlu”.
Walaupun begitu, hadits maudlu itu jumlahnya sangat sedikit, bila dibandingkan dengan isi sunan yang jumlahnya lebih dari 400 hadits. Oleh karena itu, hadits maudlu yang terdapat pada sunan itu, tidak mengurangi nilai Sunan itu sebagai kelompok Kutubus Sittah. Sebagaimana yang telah kami katakan, sebaiknya tidak mengambil hadits yang hanya diriwayatkan Ibnu Majah, kecuali setelah meneliti para perawinya. Disamping itu harus mempertimbangkan apakah hadits tersebut pantas dijadikan dalil (atau tidak). 

10. Sulasiyat Ibnu Majah 

Ibnu Majah telah meriwayatkan beberapa hadits dengan sanad tinggi sehingga dia dengan Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya terdapat tiga perawi. Hadits seperti ini disebut “Sulasiyat”.

11. Syarah Sunan Ibnu Majah 

Diantara kitab syarah Sunan Ibnu Majah yang terkenal ialah:
Syarah yang disusun oleh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H). Kitab syarah ini bernama Misbahuz Zujajah Ala Sunan Ibnu Majah. Sebagaimana dalam mengulas Kutubus Sittah yang lain, as-Suyuthi menjelaskan secara singkat terhadap masalah yang penting saja
Kitab syarah yang ditulis oleh syaikh as-Sindi al-Madani (wafat tahun 1138 H). Syarah ini ditulis secara ringkas dan terbatas pada masalah yang penting saja. Tulisan syarah ini dicetak di pinggir matan as-Sunan









G. KESIMPULAN.


Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Kutubussittah menjadi salah satu diantara referensi mereka yang ingin,akan dan sedang mendalami ilmu hadist,dan tentunya masih sangat banyak referensi yang lain yang memuat hal yang sama.
Masing-masing dari Kutubussitah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing,tapi bagaimanapun juga kitab-kitab tersebut serta muallifnya telah memberikan sumbangsih maha besar bagi islam dan kaum muslimin khususnya bagi mereka yang mempelajari ilmu hadist.
Kerja keras mereka telah melahirkan maha karya luar biasa dalam hal menjaga,melestarikan dan melanjutkan hadis-hadis nabi dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Adalah suatu kesia-sian rasanya apabila dengan adanya literatur-literatur yang ada tidak di ikuti dengan penguasaan mendalam terhadap hadis-hadis nabi tsb.
Dengan harapan besar semoga kita semua dapat senantiasa mengetahui,mendalami dan mengamalkan Sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW yang termuat dalam Hadist-hadistnya.











H. DAFTAR PUSTAKA.


1. M. Muhammad Abu Syuhbah, “Kutubus Sittah”. Pustaka Progressif. Surabaya. Cet-2, Januari 1999
2. Al khatib,M.ajaj.Pokok-pokok ilmu Hadis,Gaya Media Pratama,1998
3. Ibnu Hajar Al asqalani,Bulughul Maram,Almaarif Bandung 1983
4. Sahaba encyclopadia,Mausuatussohabah.Harf Information technology
5. http://portege181.wordpress.com/index-artikel
6. http://www.boukhary.net/fatawa/jame3matar.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar