Minggu, 19 Juli 2009

Kutubus sittah dan Katagorinya

A. PENDAHULUAN.

Dalam literatur islam, hadis nabi Muhammad SAW menempati urutan kedua setelah Al quranul karim sebagai sumber utama Syariat Islam, Fungsi hadist nabi tidak saja sebagai penjelas terhadap hal-hal yang masih sangat umum dalam Al qur’an,tapi juga menjadi sumber agama baru di dalam hal-hal yang tidak di jelaskan di dalam alqur’an, dalam hal ini menjadi sangat penting untuk mengetahui dan mendalami permasalahan2 yg ada di dalam hadist nabi Muhammad SAW.
Berbicara tentang Hadist nabi maka kita juga harus berbicara tentang kitab2 yang memuat hadist2 nabi tersebut, maka dalam hal ini Kutubussittah (kitab yang enam) adalah pedoman utama mereka yang hendak atau sedang mendalami hadist2 nabi Muhammad SAW tsb.
Ada beberapa istilah bagi kitab2 hadist,baik kutubussittah atau kitab2 hadist secara umum, yaitu; Shohih,Jami’, Musnad, sunan, dan Mustadrak
Kitab Shohih seperti Shohih Bukhori dan Shohih Muslim berarti bahwa kitab tersebut hanya memuat hadist-hadist Shahih saja dan meninggalkan hadist yg bermasalah baik itu dalam sanad atau matannya,walau begitu bukan berarti semua hadist shohih termuat dalam kedua kitab tersebut.
Jami’ atau Kitab Al-Jami’ yang dimaksud disini adalah kitab yang terkenal dengan sebutan Jami’ Tirmdzi yaitu salah satu kitab yang menjadi rujukan penting berkaitan masalah hadits dan ilmunya dan juga termasuk dalam Kutubus Sittah (enam kitab pokok dibidang hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal, kitab ini banyak menjelaskan tentang fiqih, kitab ini juga terkenal dengan nama Sunan At-Tirmidzi.
Kitab Sunan Tirmidzi ini sangat penting, karena kitab ini betul-betul memperhatikan ta’lil (penentuan nilai) Hadits dengan menyebutkan secara explicit hadits yang shohih, itulah penyebab mengapa kitab ini berada di tingkatan 4 dalam urutan kutubus sittah, berbeda dengan pendapat H. Khalfah (w 1657) mengaggap bahwa kitab ini adalah urutan ke-3 dalm kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari, atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan kesimpulanya
Musnad artinya yang disandarkan.Jadi kalau dikatakan sanad berarti rangkaian para perawi dari mukhorrij atau mudawwin paling akhir sampai rowi yang pertama langsung menerima dari Rosulullah SAW.Misalkan Musnad Imam Syafi’ie,maka itu artinya hadits-hadits yang dikumpulkan Imam Syafi’ie,sedang cara pengumpulannya ialah tiap-hadits yang diriwayatkan oleh sahabat secara berurutan,misalnya sahabat Ibnu Abbas,lalu Umar,Aisyah,Abu Hurairah dan demikian seterusnya.Oleh karena itu kitab hadits yang bernama Musnad,fasal-fasalnya tidak berurutan seperti kitab fiqih,misalnya fasal thoharoh dulu,baru fasal sholat,zakat,fasal haji.Kemudian dilanjutkan fasal Mu’amalat seperti jual beli dan lain-lain.Diteruskan dengan fasal Munakahat atau yang berhubungan dengan pernikahan,perceraian,fasakh nikah,ruju’ dan sebagainya.Kemudian masuk bab Jinayat atau pelanggaran undang-undang dan masing-masing hukuman yang wajib diberikan terkait dengan pelangaran-pelanggaran tersebut,lalu disambung dengan bab-bab fiqih yang lainnya hingga selesai.
jadi jelas kitab musnad itu isinya tidak beraturan dan berurutan masalah demi masalah yang diketengahkannya.Bab-bab dalam musnad itu,fasal-fasalnya adalah perihal rowi-rowinya yang diutamakan,maka didalamnya terdapat fasal Aisyah,fasal Abdullah bin Umar,Abu Hurairah,Abdullah bin Abbas dan seterusnya dari mulai rowi yang terbanyak meriwayatkan hadits sampai yang paling sedikit.
Sunan ialah kitab hadits yang bab-babnya diurutkan menurut urutan fasal-fasal yang berhubungan dengan fiqh,seperti bab thoharoh dulu,lalu mu’amalat,munakahat,jinayat dan sampai akhirnya menurut rangkaian urutan persoalan-persoalan fiqh.
Seputar Kitab al-Mustadrak karya al-Hâkim, Shahîh Ibn Khuzaimah dan Shahîh Ibn Hibbân 
al-Mustadrak karya al-Hâkim
  Sebuah kitab hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits tersebut.
  Demikian juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di dalam penilaian keshahihan hadits.
























B. SHAHIH BUKHORI.

1. Sepintang tentang Imam Bukhori (194-256 H)

Beliau adalah ; Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al Mughiroh bin Bardizbah al ja’fi al Bukhori. Dilahirkan hari Jum’at 13 Syawal 194 H di kota Bukhara.
Pada usianya yang relatif masih muda ia sudah mampu menghafal tulisan beberapa ulama’ hadits yang ada di negrinya. Masih pada usia relatif muda berumur ± 16 th pula ia pergi ke Mekkah bersama ibu dan saudaranya untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 210 H. Selanjutnya tinggal di Madinah dan menulis sejarah yang terkenal Tarikh al-Kabir, disamping makam Nabi Muhammad SAW.
  Al-Bukhori tergolong orang yang memiliki sifat penyabar dan memiliki kecerdasan yang jarang dimiliki oleh orang lain. Kecerdasan dan Ketekunan dalam mempelajari hadis-hadis itulah kemudian diberi gelar Amir al-Mu’minin fi al-Hadits, oleh ulama’-ulama’ hadits pada zamanya. Di samping sifat penyabar dan kecerdasan itu, ia juga terkenal mempunyai sifat Wara’ dalam menghadapi kehidupan, dan ahli ibadah.
  Al Bukhori menghafal 100.000 hadits shohih dan 200.000 hadits yang tidak shohih , suatu kemampuan menghafal yang jarang ada tandinganya.
  Salah satu karya besar yang monumental dalam kitab hadis yang ditulis oleh Bukhori adalah kitab Jami’ al-shohih, kitab Jami’ al-shohih ini dipersiapkan selama 16 tahun. Ketika hendak memasukkan hadis ke dalam kitab ini , ia sangat berhati-hati.
  Hal ini terlihat setiap ia hendak mencantumkan hadits dalm kitabnya didahului mandi , berwudlu, dam shalat istikhoroh meminta petunjuk kepada Allah tentang hadits yang ditulisnya. Bukhori menyatakan: Saya tidak memasukkan dalam kitab Jami’ku ini kecuali yang shohih saja. Al Bukhori meninggal di desa Khartank kota Samarkand pada tanggal 30 Ramadhan tahun 256 Hijriyah. 

2. Yang mendorong menyusun Jami’us Shahih.

Al-Bukhari menyusun kitab itu karena atas dorongan dan anjuran gurunya bernama Ishaq bin Rahawaih yang berkata, “Hendaklah kamu menyusun kitab yang khusus berisi sunnah (hadits) Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang shahih”. Al-Bukhari berkata, “Ucapan itu merasuk dan membekas dalam hatiku, lalu aku menyusun Jami’us Shahih”.
Beliau juga pernah berkata, “Aku bermimpi berjumpa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seolah-olah aku berada di depannya, sambil membawa untuk menjaga beliau dari gangguan. Lalu aku bertanya kepada ahli-ahli tabir mimpi. Dia menjelaskan kepadaku, “Engkau akan mencegah pemalsuan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Mimpi inilah yang mendorongku untuk membuat kitab Jami’us Shahih”.

3. Metode Al-Bukhari dalam menyusun Jami’us Shahih.

Untuk menyusun hadits shahih, al-Bukhari telaha menempuh cara tertentu sehingga keshahihan haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Beliau telah berusaha keras untuk meneliti keadaan para perawi untuk memastikan keshahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya. Beliau selalu membanding-bandingkan hadits yang satu dengan lainnya, meneliti dan memilih hadits yang menurutnya paling shahih. Sebagaimana penegasan imam al-Bukhari, “Aku menyusun kitab Jami’us Shahih ini (adalah hasil saringan) dari 600.000 hadits selama 16 tahun”.
Disamping menggunakan metode ilmiah dalam penelitiannya, al-Bukhari tidak mengabaikan aspek ruhani. Salah satu muridnya yang bernama al-Firbari mengatakan, “Aku mendengar Muhammad bin ismail al-Bukhari berkata, ‘Aku menyusun Jami’us Shahih ini di Masjidil Haram. Aku tidak akan memasukkan satu hadits pun ke dalam kitab itu sebelum shalat istikharah dua rakaat dan setelah itu aku betul-betul meyakini bahwa hadits itu shahih”.
Maksudnya, imam al-Bukhari mulai menyusun bab dan dasar-dasarnya di Masjidil Haram, kemudian menulis pendahuluan dan pembahasannya di Raudah (tempat antara makam Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mimbar). setelah itu beliau mengumpulkan hadits dan menempatkannya pada bab-bab yang sesuai. Semua itu dilakukan di Makkah, Madinah dan beberapa negara di tempat pengembaraannya. Dengan tekun dan cermat, al-Bukhari menyusun kitab Jami’us Shahih selama enam belas tahun. Beliau meneliti, menyaring dan memilih hadits sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkannya. Sehingga terwujudlah kitab itu sesuai keinginannya.
Jerih payah maksimal yang dicurahkan untuk menyusun kitab itu membuat Jami’us Shahih mencapai kebenaran dan mempunyai kedudukan tinggi di hati para ulama dan seluruh umat Islam. Sudah tepatlah bila ia mendapat predikat sebagai “Kitab hadits Nabi yang paling shahih”.
4. Sistematika Kitab Shahih al-Bukhari

Shahih al-Bukhari terdiri dari beberapa kitab. Dia memulai dengan bab permulaan wahyu, yang menjadi dasar utama bagi syariat Islam. Kemudian disusul dengan kitab iman, kitab ilmi, kitab thaharah, kitab shalat, kitab zakat dan seterusnya. Dalam beberapa naskah terdapat perbedaan mengenai urutan antara kitab shaum dan kitab haji.
Kemudian kitab buyu’, muamalah, murafaat (hukum acara), syahadat, sulh (perdamaian), wasiat, wakaf dan jihad. Selanjutnya bab-bab yang tidak menyangkut fiqih seperti tentang penciptaan mahluk, riwayat para Nabi, cerita surga dan neraka, manaqib Quraisy dan keutamaan shahabat.
Selanjutnya bab sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam) dan maghazi (peperangan) serta hadits yang berkaitan dengannya. Lalu kitab tafisr, kemudian kembali lagi ke masalah fiqih mengenai nikah, talaq dan nafakah, kemudian kitab at’imah (makanan), asyribah (minuman), kitab tibb (pengobatan), kitab adab (etika), birr (kebaikan), silah (silahturahmi), dan isti’zan (minta izin). Kemudian kitab nuzur (nazar) dan kifarat, hudud (hukum pidana), ikrah (pemaksaan), ta’bir ru’yah (penafsiran mimpi), fitan (fitnah), ahkam (peraturan hukum). Dalam kitab ini juga dimuat mengenai para penguasa dan para hakim. Kemudian kitab i’tisam bil kitab was sunnah (berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasul) dan yang terakhir kitab tauhid, sebagai penutub kitab shahihnya yang terdiri dari 97 kitab dan 3.450 bab.
Namun perlu diketahui, dalam naskah-naskah yang ada, terdapat beberapa perbedaan, yaitu ada “kitab” yang dianggap sebagai ‘bab”, juga sebaliknya, ada “bab” yang dianggap “kitab”. Hal ini dapat diketahui melalui muraja’ah atau penelitian terhadap matan shahih al-Bukhari yang sudah dicetak dan syarahnya.
Dalam kitab Shahih al-Bukhari ada beberapa bab yang memuat banyak hadits. Ada pula bab yang hanya berisi satu hadits, dan ada pula bab yang berisi ayat-ayat al-Qur’an tanpa hadits, bahkan ada pula yang kosong tanpa isi. Tampaknya imam al-Bukhari belum mendapatkan hadits untuk mengisi bab itu sesuai dengan kriterianya. Oleh karena itu bab tersebut dibiarkan kosong, dengan harapan suatu saat akan menemukan hadits-hadits yang memenuhi syarat-syarat keshahihannya. 

5. Jumlah Hadis dalam Kitab jami’us Shahih

Ibnu Salah dalam Muqaddimahnya menyebutkan jumlah hadits shahih al-Bukhari sebanyak 7.275 buah, termasuk hadits yang berulang, atau sebanyak 4.000 hadits tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Syaikh Muhyidin an-Nawawi dalam kitabnya at-Taqrib.
Ibnu Hajar telah menghitung hadits shahih al-Bukhari dengan teliti. Kejelian penghitungan ini ditunjang oleh penulisan Syarah kitab shahih itu (Fathul Bari). Diakhir setiap bab, ia menyebutkan jumlah hadits Maushul yang marfu, hadits mu’allaq dan hadits muttabi’, serta perkataan para shahabat dan tabi’in. Maka dari itu hasil perhitungan yang dilakukannya itu lebih baik dibanding ulama lain.
Dalam muqaddimah Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan bahwa:
Seluruh hadits shahih al-Bukhari yang maushul tanpa mengulang sebanyak 2.602 buah
Jumlah matan hadits mu’allaq namun marfu’ yang tidak disambung pada tempat lain sebanyak 159 buah
Jumlah semua hadits termasuk yang diulang sebanyak 7.397 buah
Jumlah hadits mu’allaq sebanyak 1.341 buah
Jumlah seluruhnya termasuk yang diulang sebanyak 9.082 buah. 


C. Imam Muslim (204 H-261H=820 M-875M)

1. Sepintas tentang beliau

Beliau adalah ; Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi. Ia termasuk salah seorang dari ulama’-ulama’ hadits yang terkenal. Dilahirkan di Naisabur pada tahun 204 Hijriyah. Sejak masih kecil, ia sudah mulai tertarik untuk menuntut ilmu. Berbagai tempat telah dikunjunginya untuk memenuhi kegemaranya tersebut.
  Muslim menerima hadits dari beberapa orang gurunya, disamping itu pula dia menerima dari al-Bukhori sendiri, selanjutnya karir intelektualanya mengikuti al-Bukhori terutama dalam menulis kitab shahihnya. Hubungan keduanya sangat intim sekali, dan Muslim sangat menghormati al-Bukhori.
Muslim bukanlah orang yang fanatik terhadap pendapatnya sendiri. Dia selalu tersenyum sebagai ulama yang selalu mencari kebenaran. Dia tidak merasa terhina dan rendah apabila menerima kebenaran yang datang dari orang lain, bahkan sikap ini dipandang sebagai perbuatan yang terpuji.
Setelah menyusun kitab shahih itu, Muslim memperlihatkannya kepada para ulama hadits untuk diperiksa. Al-Khatib meriwayatkan dari Makki bin Abdan, salah seorang hafizh dari Naisabur, ia berkata, “Saya mendengar Muslim berkata, ‘Aku memperlihatkan kitabku ini kepada Abu Zur’ah ar-Razi. Semua hadits yang ditunjukkan ar-Razi ada kelemahannya, aku tinggalkan. Dan semua yang dikatakan shahih, itulah yang kutulis”. Itulah sikap rendah hati imam Muslim yang tidak terbujuk oleh hawa nafsu dan bangga atas pendapatnya sendiri. Sikap seperti itulah yang dipakai dalam kode etik pengkajian Islam.

2. Metode Imam Muslim dalam shahih-nya

Imam Muslim tidak menetapkan syarat tertentu yang dipakai dalam shahih-nya, tetapi para ulama telah menggali syaratnya itu melalui pengkajian terhadap kitabnya. Mereka menyimpulkan bahwa syarat yang dipakai dalam Shahih Muslim ialah:
ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari perawi yang adil, kuat hafalannya, jujur, amanah, tidak pelupa. Dia juga meriwayatkan dari perawi yang memiliki sifat-sifat lebih rendah dari sifat tersebut diatas
Dia sama sekali tidak meriwayatkan kecuali hadits musnad (sanadnya lengkap), muttasil (sanadnya bersambung), dan marfu’ (disandarkan kepada Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
Berarti Muslim tidak selamanya harus berpegang teguh pada ketentuan sebagaimana yang dipakai oleh imam al-Bukhari, yaitu tingkatan tertentu dalam periwayatan dan para perawi. Karena itu, dia meriwayatkan hadits dari perawi yang haditsnya tidak dicantumkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya.
Agar lebih jelas, mari membicarakan lagi syarat-syarat imam al-Bukhari dalam shahih-nya. Murid-murid Ibnu Syihab az-Zuhri dibagi menjadi lima tingkatan: pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima. Masing-masing tingkatan mempunyai keistimewaan lebih tinggi dari tingkatan berikutnya.
Al-Bukhari hanya meriwayatkan hadits dari murid tingkat pertama dan sedikit sekali meriwayatkan hadits dari murid tingkat kedua, itupun bukan hadits utama. Sedangkan Muslim meriwayatkan hadits dari murid tingkat kedua, juga meriwayatkan dari tingkat ketiga, meskipun dalam jumlah sedikit dan terbatas pada hadits muttabi’ dan hadits syahid, bukan hadits utama. Imam Muslim dalam muqaddimahnya memberikan penjelasan yang lebih gamblang mengenai syarat yang dipakai dalam shahih-nya. Dia membagi hadits dalam tiga macam:
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat hafalannya
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak diketahui keadaannya (mastur) dan kekuatan hafalannya dipertengahan
Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lemah hafalannya, dan banyak salahnya
Apabila Muslim meriwayatkan hadits dari kelompok pertama, dia selalu meriwayatkan hadits dari kelompok kedua. Muslim tidak meriwayatkan dari kelompok ketiga

3.Bab-Bab dalam Shahih-Muslim

Imam Muslim tidak membuat judul setiap bab secara praktis. Dia hanya mengelompokkan hadits-hadits pada satu tema pada satu tempat. Dengan demikian, kitab shahih terdapat seakan-akan telah tersusun secara sistematis menjadi beberapa bab.
Muslim melakukan demikian mungkin untuk mengasah otak para pembaca kitabnya, agar mempergunakan akalnya untuk mengkaji, menggali, menemukan maksud dan tujuan hadits.
Adapun judul kitab dan bab yang terdapat pada Shahih Muslim yang sudah dicetak sebenarnya bukan ditulis oleh Muslim, melainkan ditulis oleh pensyarah Shahih itu yang hidup sesudahnya.
Orang yang paling baik membuat judul bab sistematikanya adalah Imam Nawawi dalam syarahnya.

4.Jumlah hadits Shahih Muslim

Ahmad bin Salamah, penulis naskah Shahih Muslim mengatakan bahwa Shahih Muslim itu berisi 12.000 hadits. Namun Ibnu Salah menyebutkan dari Abi Quraisy bahwa jumlah hadits Shahih Muslim itu sebanyak 4.000 buah. Kedua pendapat itu dapat dikompromikan karena perhitungan pertama memasukkan hadits yang diulang-ulang, sedangkan perhitungan yang kedua hanya menghitung hadits yang tidak terulang.
Sebagian penulis ada yang salah hitung, seperti Prof Ahmad Amin dalam bukunya Duhal Islam. Ia mengatakan bahwa hadits Shahih Muslim termasuk yang terulang sebanyak 7.275 hadits. Sebenarnya hitungan ini dari Ibnu Salah untuk Shahih al-Bukhari bukan untuk Shahih Muslim.

5. Perbandingan antara Shahih al-Bukhari dan Muslim

Para ulama sepakat bahwa kitab hadits yang paling shahih adalah kitab shahih al-Bukhari dan Muslim. Dan kitab al-Bukhari lebih shahih dibanding Muslim.
Imam an-Nasa’i berkata, “Tidak ada kitab hadits yang paling baik selain kitab karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari”. Yang dimaksud dengan “baik” adalah “shahih”. Pengakuan dari ulama seperti an-Nasa’i ini adalah pengakuan yang jujur. Sebab imam an-Nasa’i adalah ulama hadits yang sangat teliti, kritis dan tidak sembarangan berkata, serta ulama terkemuka di masanya.
Ad-Daraquthni mengatakan, “Seandainya tidak ada al-Bukhari niscaya tidak ada Muslim”.
Namun perkataan Abu Ali an-Naisaburi lebih mengutamakan imam Muslim. Dia pernah berkata, “Tidak ada di kolong langit ini kitab yang lebih shahih selain kitab Muslim bin Hajjaj”. Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama maghribi dan Abu Muhammad ibnu Hazim az-Zahiri.
Sebenarnya, orang yang mengutamakan Shahih Muslim ini disebabkan :
Karena kebagusan dan susunannya teratur
Hadits yang periwayatannya sejalan dan dalam satu tema dikumpulkan disatu tempat, tanpa memotong hadits untuk dimasukkan ke bab lain
Disamping itu, dia hanya meriwayatkan hadits marfu’ dan tidak meriwayatkan hadits mauquf dan mu’allaq.

D.Imam Abu Dawud(202 H-275 H = 817 M 889 M)

1. Sepintas tentang beliau 

Beliau adalah Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats bin Ishaq As-Sijistany. Beliau di nisbatkan kepada tempat kelahiranya, yaitu di Sijistan (terletak antara Iran dengan Afganistan). Beliau dilahirkan di kota tersebut, pada tahun 202 H. (817 M)
Sejak kecil Abu Dawud sangat mencintai ilmu dan sudah bergaul dengan para ulama untuk menimba ilmu.
Sebelum dewasa, dia sudah mempersiapkan diri untuk melanglang buana ke berbagai negeri. Dia belajar hadits dari para ulama yang ditemuinya di Hijaz, Syam, Mesir, Irak, Jazirah, Sagar, Khurasan dan negeri lainnya. Pengembaraannya ke beberapa negeri itu menunjang dia untuk mendapatkan hadits sebanyak-banyaknya. Kemudian hadits itu disaring, lalu ditulis pada kitab Sunan. Abu Dawud sudah berulangkali mengunjungi Baghdad. Di kota itu, dia mengajar hadits dan fiqih dengan menggunakan kitab Sunan sebagai buku pegangan. Kitab sunan itu ditunjukkan kepada ulama hadits terkemuka, Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa kitab itu sangat bagus.
Kemudian Abu Dawud menetap di Basrah atas permintaan gubernurnya yang mengharapkan Bashrah menjadi kiblat bagi ulama dan pelajar hadits.
Beliau wafat pada tahun 275 H. (889 M) di Bashrah.

2. Kitab karangan Abu Dawud

Abu Dawud mempunyai karangan yang banyak, antara lain:
as-Sunan
al-Marasil
al-Qadar
an-Nasikh wal Mansukh
Fadha’ilul Amal
az-Zuhud
Dalailun Nubuwwwah
Ibtida’ul Wahyu
Ahbarul Khawarij
Diantara kitab tersebut, yang paling populer adalah kitab as-Sunan, yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.

3.Metode penyusunan KITAB SUNAN ABU DAWUD

Penyusunan kitab hadits baik berupa Jami’ ataupun Musnad dan sebagainya, disamping memuat hadits hukum juga mencantumkan hadits mengenai amalan yang terpuji (fadha’ilul amal), kisah-kisah, nasihat, adab dan tafsir. Cara seperti ini terus berlangsung sampai periode Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitab yang khusus memuat sunnah dan hadits hukum. Ketika selesai menyusunnya, Abu Dawud memperlihatkan kitab itu kepada imam Ahmad bin Hanbal. Imam Ahmad mengatakan bahwa kitab itu bagus dan baik.
Dalam kitab itu, Abu Dawud tidak hanya memuat hadits shahih saja –sebagaimana al-Bukhari dan Muslim- tetapi dia juga memasukkan hadits hasan dan dhaif yang tidak ditinggalkan (dibuang) oleh ulama hadits. Apabila dia mencantumkan hadits dhoif maka dia juga akan menjelaskan kelemahan hadits tersebut.
Metode seperti ini dapat diketahui dari suratnya yang dikirimkan ke penduduk Makkah, sebagai jawaban dari pertanyaan mereka mengenai kitab sunannya. Abu Dawud menulis sebagai berikut: “Aku telah menulis hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebanyak 500.000 hadits. Dari sekian itu, aku memilih 4.800 hadits yang kemudian kutulis dalam kitab sunan itu. Dalam kitab itu, kuhimpun hadits shahih, semi shahih, dan yang mendekati shahih. Dan aku tidak akan mencantumkan hadits yang ditinggalkan oleh para ulama. Hadits yang sangat lemah aku beri penjelasan. Sebagian hadits lemah ini sanadnya tidak shahih.
Adapun hadits yang tidak kami beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut adalah shahih, dan sebagian lebih shahih dari yang lain. Setelah al-Qur’an, saya belum mengetahui kitab yang harus dipelajari selain kitab ini. Empat hadits saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan beragama bagi setiap orang. 

4.Jumlah hadits Sunan Abu Dawud 

Sebagaimana yang telah disebutkan, jumlah hadits yang terdapat dalam kitab Sunan Abu Dawud sebanyak 4.800 buah. Namun sebagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 hadits. Perbedaan ini disebabkan sebagian orang menghitung hadits yang diulang sebagai satu hadits, sedangkan yang lain menganggap dua hadits atau lebih. Dua cara menghitung seperti ini sudah dikenal di kalangan ulama hadits.
Abu Dawud membagi sunannya dalam beberapa kitab, dan setiap kitab dibagi menjadi beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, diantaranya ada tiga kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1.871 buah. 

5.Hadits Abu Dawud yang dikritik

Imam Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadits Abu Dawud dan memandang sebagai hadits maudlu (palsu). Jumlah hadits tersebut sebanyak sembilan buah. Disamping Ibnul Jauzi, sudah dikenal sebagai orang yang terlalu menggampangkan mengatakan “Maudlu”, kritikan tersebut telah dibantah oleh sebagian ahli hadits, seperti Jalaluddin as-Suyuthi.  

D. Imam AT-Turmudzi(200 H-279 H= 824 M-892 M)

1.Sepintas tentang beliau

Beliau adalah Abu Isa Muhammad bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmidzi. Beliau adalah ulama hadits ternama dan penulis beberapa kitab yang terkenal. Dia dilahirkan di kota Tirmiz.
Kakek at-Tirmidzi berasal dari daerah Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan hidup disana. Di kota itulah Abu Isa dilahirkan. Sejak kecil dia sudah senang mempelajari ilmu dan hadits. Dia pergi ke beberapa negeri seperti Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam perjalanan itu dia bertemu dengan ulama besar ahli hadits untuk memperoleh hadits, kemudian dihafal dan dicatatnya baik di tengah perjalanan maupun ketika sudah sampai di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan waktu begitu saja, sebagaimana dapat diketahui dalam kisah pertemuannya dengan seorang syaikh di perjalanan menuju Makkah.
Setelah melakukan perjalanan panjang untuk belajar dan berdiskusi, serta mengarang, pada akhirnya dia hidup sebagai tunanetra. Beberapa tahun kemudian beliau meninggal dunia. Beliau wafat di Tirmiz pada malam senin 13 Rajab tahun 279 H dalam usia 70 tahun.

2. MENGENAL KITAB JAMI’ AT-TIRMIDZI

Kitab ini adalah salah satu hasil karya imam at-Tirmidzi terbesar dan paling berharga. Ia termasuk salah satu dari Kutubus Sittah (enam hadits pokok) dan kitab yang ternama. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama Jami’ at-Tirmidzi dinishbahkan kepada penulisnya, yang juga dikenal dengan nama Sunan at-Tirmidzi. Namun nama pertamalah yang termasyur.
Sebagian ulama tidak keberatan menyebutkan kitab itu sebagai as-Shahih at-Tirmidzi. Sebenarnya pemberian nama itu tidak tepat dan terlalu gegabah, sebagaimana yang akan dibahas nanti.
Setelah menyusun kitab ini, at-Tirmidzi memperlihatkannya kepada para ulama dan mereka gembira menerimanya. Dia mengatakan, “Setelah selesai menyusun, aku tunjukkan kitab itu kepada ulama di Hijaz, Irak dan Khurasan. Mereka menerimanya dengan gembira. Barangsiapa menyimpan kitab ini dirumahnya maka di rumahnya itu seakan-akan ada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang selalu berbicara”.









3.Metode at-Tirmidzi dalam Al-Jami’

Dalam kitab al-Jami’, at-Tirmidzi tidak hanya meriwayatkan hadits shahih saja, tetapi juga meriwayatkan hadits hasan, dhoif, gharib dan mu’allal dengan menerangkan kelemahannya.
Disamping itu, dia tidak meriwayatkan hadits kecuali yang diamalkan oleh ahli fiqih. Metode ini merupakan syarat yang longgar. Oleh karena itu dia meriwayatkan hadits baik yang shahih atau yang tidak shahih. Tetapi dia selalu memberikan penjelasan sesuai dengan derajat haditsnya.
At-Tirmidzi pernah berkata, “Semua hadits yang terdapat di dalam kitab ini dapat diamalkan”. Oleh karena itu, sebagian ulama memakainya sebagai pegangan kecuali dua hadits:
Pertama, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat zhuhur dengan ashar, dan maghrib dengan ‘isya tanpa sebab “takut” atau “dalam perjalanan, Bunyi hadistnya ; كان يصلي الظهر والعصر جميعا والمغرب والعشاء جميعا في غير خوف ولا سفر
Kedua, “Jika peminum khamr meminum lagi yang keempat, maka bunuhlah ia ”.
Bunyi hadistnya ;انه قال في شارب الخمر اذا شرب فاجلدوه ثم اذاشرب فاجلدوه ثم اذا شرب الثالثة فاجلدوه ثم اذا شرب الرابعة فاضربوا عنقه 
Hadits tentang “menjama’ shalat”, para ulama tidak sepakat meninggalkannya. Sebagian besar dari mereka berpendapat, menjama’ shalat tanpa ada sebab “takut” atau dalam “perjalanan” hukumnya boleh, asalkan tidak dijadikan kebiasaan. Ini adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab, Ibnu Mundzir dan sebagian besar ulama fiqih dan hadits.
Tentang hadits mengenai “peminum khamr”, telah dijelaskan sendiri oleh at-Tirmidzi. Dan menurut ijma’ ulama, hadits tersebut sudah dimansukh.
Hadits dhoif dan munkar yang terdapat pada kitab ini pada umumnya hanya menyangkut fadha’ilul amal (anjuran melakukan kebaikan). Persyaratan bagi hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi hadits tentang halal dan haram.
Salah satu kritikan terhadap at-Tirmidzi, antara lain karena dia meriwayatkan hadits dari al-Maslub dan al-Kilbi. Padahal kedua orang itu “tertuduh” telah membuat hadits palsu. Inilah sebabnya mengapa kedudukan Jami’ at-Tirmidzi lebih rendah dari Abu Dawud dan an-Nasa’i.
Meskipun Jami’ at-Tirmidzi mendapat kritikan, namun di sisi lain ia memiliki beberapa keistimewaan.

4.Keistimewaan Jami’ at-Tirmidzi 

Majduddin Ibnul Asir dalam muqaddimah kitabnya, Jami’ul Ushul mengatakan: “Kitab shahih at-Tirmidzi ini merupakan kitab yang baik, banyak faedahnya, bagus sistematikanya dan sedikit pengulangan isinya. Di dalamnya banyak keterangan penting yang tidak ditemukan pada kitab lain, seperti pembahasan mengenai mahdzab-mahdzab, cara beristidhal dan penjelasan tentang hadits shahih, hasan dan gharib. Juga pembahasan mengenai jarh dan ta’dil, dan di akhir kitab Jami’ itu dilengkapi dengan kitab al-Ilal. Garis besarnya kitab ini sangat berharga dan berfaedah bagi yang mempelajarinya.

5.Hadits Jami’ at-Tirmidzi yang Dikritik

Sebagian ulama hadits mengkritik beberapa hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan menilainya sebagai hadits maudlu (palsu). Mereka yang mengkritik itu antara lain al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam kitab Maudu’at, serta Ibnu Taimiyah dan muridnya yang bernama adz-Dzahabi. Jumlah hadits yang dikritik oleh Ibnul Jauzi sebanyak tiga puluh buah, tetapi predikat “maudlu” yang ditempatkan pada hadits itu telah dibantah oleh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi.
Sebenarnya sebagian besar hadits yang hanya menyangkut fadhailul amal ada yang bisa disebut maudlu, tetapi ada pula yang tidak maudlu. Jika pengkritik menilainya palsu, maka at-Tirmidzi menilai tidak demikian. Sebab hampir tidak ada seorang imam hadits meriwayatkan hadits maudlu, yang dia sendiri sudah mengetahuinya, kecuali jika disertai dengan penjelasannya. Terlepas dari itu semua, jumlah hadits yang dikritik itu sedikit sekali bila dibandingkan dengan ribuan hadits yang terdapat dalam kitab al-Jami’ dan tidak mengurangi kedudukan kitab itu sebagai pegangan. 

E. Imam An-Nasa’iy (215 H-303 H)=(839 M-915 M)

1.Sepintas tentang beliau

Dia adalah ulama terkemuka melebihi ulama lain di masanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh adz-Dzahabi dalam kitabnya yang berjudul Tazkirah, nama lengkap imam an-Nasa’i adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahar al-Khurasani al-Qadhi. Dialah pengarang kitab sunan dan kitab-kitab berharga lainnya. Dilahirkan di daerah Nasa pada tahun 215 H. Ada yang berpendapat dia dilahirkan tahun 214 H. Dia lahir dan dibesarkan di Nasa. Ia menghafalkan al-Qur’an dan mempelajari ilmu-ilmu dasar dari guru-guru madrasah di negerinya. Setelah menginjak remaja, dia senang mengembara untuk mendapatkan hadits. Sebelum berusia lima belas tahun, dia pergi ke Hijaz, Irak, Mesir dan Jazirah untuk belajar hadits dari ulama-ulama negeri itu, sehingga an-Nasa’i menjadi ulama hadits terkemuka yang mempunyai sanad ‘Ali (sedikit sanadnya). n-Nasa’i tinggal di Mesir di jalan Qanadil hingga setahun menjelanf wafatnya. Kemudian ia pindah ke Damaskus. Di tempat yang baru ini ia mengalami peristiwa tragis yang menyebabkan kematiannya.
Dikisahkan ketika dimintai pendapat tentang keutamaan Mu’awiyah, mereka seakan-akan mendesak an-Nasa’i agar menulis buku tentang keutamaan Mu’awiyah, sebagaimana ia menulis keutamaan Ali ra. An-Nasa’i menjawab kepada penanya itu: “Apakah kamu belum puas adanya kesamaan derajat antara Mu’awiyah dan Ali sehingga kamu merasa perlu mengutamakannya?” Mendengar jawaban seperti itu, mereka marah lalu memukulinya erta menginjak-injak kemudian menyeretnya keluar masjid sampai hampir meninggal dunia.
Tidak ada kesamaan pendapat tentang tempat beliau wafat. Ad-Daraquthni menjelaskan ketika ditimpa musibah di Damaskus itu, ia minta dipindahkan ke Makkah dan meninggal di tanah haram itu, kemudian dimakamkan di suatu tempat antara safa dan marwah. Begitu pula pendapat Abdullah bin Mandah dari Hamzah al-Uqbi al-Misri dan ulama lainnya.
Imam adz-Dzahabi berbeda pendapat dengan pendapat diatas. Menurutnya, an-Nasa’i meninggal di Ramlah, Palestina. Ibnu Yunus dalam Tarikh-nya sependapat dengan adz-Dzahabi. Begitu pula Abu Ja’far ath-Thahawi dan Abu Bakar bin Naqatah. Mereka juga mengatakan bahwa an-Nasa’i wafat tahun 303 H dan dimaqamkan di Baitul Maqdis.

2. Tentang kitab Sunan Annasa’i.

Ketika selesai menyusun kitabnya, as-Sunanul Kubra, imam an-Nasa’i memberikan kepada Amir ar-Ramlah. Amir itu bertanya, “Apakah isi kitab ini shahih semua?” Dia menjawab, “Ada yang shahih, ada pula yang hasan dan ada pula yang mendekati keduanya”. Sang amir berkata, “Pilihkan hadits yang shahih saja untukku”. Kemudian an-Nasa’i menghimpun hadits shahih saja dalam kitab yang diberi nama as-Sunanul Sughra. Dan kitab ini disusun menurut sistematika fiqih seperti kitab sunan yang lain.
Imam an-Nasa’i sangat teliti dalam menyusun kitab Sunanul Sugra. Oleh karena itu, ulama berkata, “Derajat kitab Sunanul Kubra di bawah Shahih al-Bukhari dan Muslim. Karena sedikit sekali hadits dhoif yang terdapat di dalamnya”. Oleh karena itu hadits sunan ini yang dikritik oleh Abul Faraj Ibnu al-Jauzi dan dianggap sebagai hadits maudlu jumlahnya amat sedikit, yakni sebanyak sepuluh buah. Penilaian maudlu itu tidak sepenuhnya dapat diterima bahkan as-Suyuthi menyanggahnya. Dalam Sunan an-Nasa’i terdapat hadits shahih, hasan dan dhoif. Tetapi yang dhoif jumlahnya sangat sedikit. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits sunan itu shahih semua, adalah penilaian yang terlalu sembrono. Atau maksud pernyataan itu adalah sebagian besar isi Sunan itu adalah hadits shahih.
Sunanul Sughra yang dikatagorikan sebagai salah satu kitab hadits pokok yang dapat dipercaya menurut penilaian ahli hadits. Sedangkan di Sunanul Kubra tidak terdapat hadits yang ditinggalkan ulama. 
Apabila ada hadits yang dinisbahkan kepada an-Nasa’i misalnya dikatakan, “Hadits riwayat an-Nasa’i”, yang dimaksudkan ialah hadits yang terdapat dalam Sunanul Sughra. Tetapi ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “riwayat an-Nasa’i” adalah hadits yang terdapat dalam Sunanul Kubra, sebagaimana pendapat penulis kitab Aunul Ma’bud Syarhu Sunan Abi Dawud sebagai berikut: “Ketahuilah perkataan a-Mundziri dalam Mukhtasharnya dan perkataan al-Mizzi dalam al-Atraf-nya, “hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i”, maka yang dimaksud adalah hadits yang terdapat dalam Sunanul Kubra yang kini beredar di seluruh negeri seperti India, Arabia dan negeri-negeri lainnya. Oleh karena itu hadits yang dikatakan oleh al-Mundziri dan al-Mizzi, “Diriwayatkan oleh an-Nasa’i” adalah hadits yang terdapat pada Sunanul Kubra. Kita tidak usah bingung dengan tiada hadirnya kitab Sunanul Sughra, sebab isinya sudah tercakup dalam Sunanul Kubra. Al-Mizzi dalam beberapa tempat berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh an-Nasa’i dalam bab Tafsir”, padahal dalam Sunanul Sughra tidak terdapat bab tafsir, melainkan ada di Sunanul Kubra. Perlu diketahui Sunan an-Nasa’i adalah salah satu kitab hadits pokok yang menjadi pegangan umat Islam.

3. Periwayatan An-Nasa’i 

An-Nasa’i menerima hadits dari beberapa ulama terkemuka. Ketika berusia lima belas tahun, dia belajar ke Qutaibah selama empat belas bulan. Guru lainnya adalah Ishaq bin Rahawaih, Al-Haris bin Miskin, Ali bin Khasram dan Abu Dawud (penulis as-Sunan) dan at-Tirmidzi (penulis al-Jami’).
Banyak ulama yang meriwayatkan haditsnya. Diantara Abul Qasim ath-Thabrani (penulis tiga Mu’jam), Abu Ja’far ath-Thahawi, al-Hasan bin al-Khidir as-Suyuthi, Muhammad bin Mu’awiyah bin al-Ahmaar al-Andalusi dan Abu Bakar bin Ahmad as-Sunni.

4.Fiqih an-Nasa’i 

Disamping ahli di bidang hadits, mengetahui perawi dan kelemahan hadits yang diriwayatkan, dia juga seorang ahli fiqih.
Ad-Daraquthni pernah berkata, “Di Mesir, an-Nasa’i adalah orang yang paling ahli di bidang fiqih pada masanya, dan paling mengetahui tentang hadits dan perawinya”.
Al-Hakim Abu Abdullah berkata: “Pendapat Abu Abdurrahman mengenai hadits fiqih sangat banyak jumlahnya jika ditunjukkan seluruhnya. Barangsiapa mengkaji kitabnya, as-Sunan, niscaya akan terpesona dengan keindahan kata-katanya. 
Ibnu Asir al-Jazairi menerangkan dalam Muqadimah Jami’ul Ushul-nya, an-Nasa’i bermahdzab Syafi’i dan mempunyai kitab manasik yang ditulis berdasarkan mahdzab Syafi’i Rahimahullaah.

6. Karya-Karyanya

Diantara kitab karya imam an-Nasa’i adalah:
as-Sunanul sughra
as-Sunanul Kubra, terkenal dengan nama al-Mujtaba
al-Khasa’is
Fadha’ilus Shahabah
a-Manasik
diantara karya tersebut, yang paling besar dan terkenal adalah kitab as-Sunan.


F. IMAM IBNU MAJAH (209-273 H/824-887 M)

1. Silsilah
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al Qazwini. Dilahirkan di Qazwin tahun 209 H, dan wafat tanggal 22 Ramadhan 273 H. Jenazahnya dishalatkan oleh saudaranya, Abu Bakar sedangkan pemakamannya dilakukan oleh kedua saudaranya Abu Bakar dan Abdullah, serta puteranya Abdullah.

3. Perkembangan dan Pengembaraannya

Dia tumbuh sebagai orang yang mencintai ilmu pengetahuan terutama hadits dan periwayatannya. Untuk mendapatkan dan mengumpulkan hadits, ia mengembara ke beberapa negeri. Dia pergi ke Irak, Hijaz, Syam, Mesir, Kufah, Basrah, dan kota-kota lain untuk mendapatkan hadits dari ulama setempat. Dia juga belajar kepada murid-murid Malik dan al-Laits. Akhirnya Ibnu Majah menjadi imam hadits terkemuka.

3. Guru dan Muridnya
Ibnu Majah belajar dan meriwayatkan hadits dari Abu Bakar bin Ali Syaibah, Muhammad bin Abdullah bin Namir, Hisyam bin Ammar Muhammad bin Rumh, Ahmad bin al-Azhar, Basyir bin Adam dan ulama besar lainnya.
Sedangkan hadits-haditsnya diriwayatkan oleh Muhammad bin Isa al-Abhari, Abul Hasan al-Qattan, Sulaiman bin Yazid al-Qazwini, Ibnu Sibawaih, Ishaq bin Muhammad dan ulama-ulama lainnya.
4. Penghargaan Para Ulama
Abu Ya’la al-Khalili al-Qazwini berkata: “Ibnu Majah adalah orang besar yang terpercaya, jujur dan pendapatnya dapat dijadikan hujjah. Beliau memiliki pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits”. Adz-Dzahabi dalam Tazkiratul Huffaz menggambarkan beliau sebagai ahli hadits besar, mufassir, penyusun kitab sunan dan tafsir.
Ibnu Katsir, seorang ahli hadits dalam kitab Bidayah-nya berkata: “Muhammad bin Yazid (Ibnu Majah) adalah seorang pengarang kitab sunan yang termasyhur. Kitab itu merupakan bukti amal dan ilmunya yang luas”.
5. Karya-Karyanya

Ibnu Majah mempunyai banyak sekali kitab hasil tulisannya, antara lain:
» Kitab as-Sunan, salah satu dari Kutubus Sittah (enam kitab hadits)
» Tafsir al-Qur’an
» Kitab Tharikh, berisi sejarah sejak masa shahabat sampai masa Ibnu Majah 

6. MENGENAL SUNAN IBNU MAJAH
kitab ini adalah salah satu karya Ibnu Majah yang terbesar dan masih beredar sampai sekarang. Beliau menyusun sunan menjadi beberapa kitab dan bab. Sunan ini terdiri dari 32 kitab dan 1.500 bab. Jumlah haditsnya sebanyak 4.000 buah.
Kitab sunan ini disusun secara baik dan indah menurut sistematika fiqih. Beliau memulai sunan ini dengan bab mengikuti sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dalam bab ini dia membahas hadits yang menunjukkan kekuatan sunnah, kewajiban untuk mengikuti dan mengamalkannya.

7.Kedudukan Sunan Ibnu Majah diantara Kitab Hadits 

Sebagian ulama sudah sepakat bahwa kitab hadits yang pokok ada lima, yaitu Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan an-Nasa’i, Sunan at-Tirmidzi.
Mereka tidak memasukkan Sunan Ibnu Majah mengingat derajat kitab ini lebih rendah dari lima kitab tersebut.
Tetapi sebagian ulama menetapkan enam kitab hadits pokok, dengan menambah Sunan Ibnu Majah sehingga terkenal dengan sebutan Kutubus Sittah (enam kitab hadits).
Ulama pertama yang menjadikan kitab Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafizh Abdul Fadli Muhammad bin Tahir al-Maqdisi (wafat tahun 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam risalahnya Syurutul A’immatis Sittah. Pendapat ini kemudian diikuti oleh al-Hafizh Abdul Ghani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat tahun 600 H) dalam kitabnya al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Pendapat mereka inilah yang diikuti oleh sebagian besar ulama.
Mereka memasukkan Sunan Ibnu Majah sebagai kitab keenam tetapi tidak memasukkan al-Muwatta’ Imam Malik. Padahal kitab ini lebih shahih daripada kitab milik Ibnu Majah. Hal ini dikarenakan di dalam Sunan Ibnu Majah banyak terdapat hadits yang tidak tercantum dalam Kutubul Khamsah (lima kitab hadits), sedangkan hadits yang terdapat di dalam al-Muwatta’ seluruhnya sudah termaktub dalam Kutubul Khamsah.
Diantara para ulama ada yang menjadikan al-Muwatta’ ini sebagai kelompok Usulus Sittah (enam kitab hadits pokok), bukan Sunan Ibnu Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqasti (wafat sekitar tahun 535 H) dalam kitabnya ad-Tajrid fil Jami’Bainas Sihah. Pendapat Razin ini diikuti oleh Abus Sa’adat Majduddin Ibnu Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat tahun 606 H). Az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat tahun 944 H) dalam Taysirul Wusul juga punya pendapat demikian. Sebenarnya derajat al-Muwatta’ lebih tinggi dari Sunan Ibnu Majah. 


8. Nilai Hadits Sunan Ibnu Majah 
Sunan Ibnu Majah berisi hadits shahih, hasan dan dhoif bahkan hadits munkar dan maudlu, meskipun jumlahnya kecil. Dibandingkan dengan kitab sunan yang lain, nilai Sunan Ibnu Majah jauh dibawahnya. Al-Mizzi berkata: “Semua hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sendirian adalah dhoif”.
Al-Hafizh Syihabuddin al-Busairi (wafat tahun 840 H) dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibnu Majah membahas hadits-hadits tambahan (Zawaid) di dalam Sunan Ibnu Majah yang tidak terdapat dalam Kutubul Khamsah, serta menunjukkan derajat hadits itu: shahih, hasan, dhoif atau maudlu. Usaha Busairi ini menguatkan bantahan terhadap pendapat al-Mizzi sekaligus menguatkan pendapat Ibnu Hajar.
Terlepas dari pro-kontra, yang jelas derajat Sunan Ibnu Majah lebih rendah dari Kutubul Khamsah dan merupakan kitab sunan yang paling banyak mengandung hadits dhoif oleh karena itu, sebaiknya tidak menjadikan hadits yang hanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah sebagai dalil kecuali setelah mengkajinya terlebih dahulu. Bila ternyata hadits tersebut shahih atau hasan, maka boleh dijadikan pegangan; jika dhoif, hadits tersebut tidak boleh dipakai. 

9. Hadits Sunan Ibnu Majah yang Dikritik

Sebagian ulama mengkritik Ibnu Majah, karena meriwayatkan hadits dari perawi yang tertuduh “berdusta” disamping meriwayatkan hadits maudlu.
Al-Hafizh Abu Faraj Ibnul Jauzi mengkritik tiga puluh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan menilainya sebagai hadits maudlu. Tetapi penilai maudlu terhadap hadits itu telah dibantah oleh Imam Suyuthi.
Sebenarnya sebagian besar hadits yang dikritik oleh Ibnul Jauzi itu bisa diterima, bahkan diantaranya terdapat beberapa hadits yang telah disepakati ulama sebagai “hadits maudlu”.
Walaupun begitu, hadits maudlu itu jumlahnya sangat sedikit, bila dibandingkan dengan isi sunan yang jumlahnya lebih dari 400 hadits. Oleh karena itu, hadits maudlu yang terdapat pada sunan itu, tidak mengurangi nilai Sunan itu sebagai kelompok Kutubus Sittah. Sebagaimana yang telah kami katakan, sebaiknya tidak mengambil hadits yang hanya diriwayatkan Ibnu Majah, kecuali setelah meneliti para perawinya. Disamping itu harus mempertimbangkan apakah hadits tersebut pantas dijadikan dalil (atau tidak). 

10. Sulasiyat Ibnu Majah 

Ibnu Majah telah meriwayatkan beberapa hadits dengan sanad tinggi sehingga dia dengan Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya terdapat tiga perawi. Hadits seperti ini disebut “Sulasiyat”.

11. Syarah Sunan Ibnu Majah 

Diantara kitab syarah Sunan Ibnu Majah yang terkenal ialah:
Syarah yang disusun oleh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi (wafat 911 H). Kitab syarah ini bernama Misbahuz Zujajah Ala Sunan Ibnu Majah. Sebagaimana dalam mengulas Kutubus Sittah yang lain, as-Suyuthi menjelaskan secara singkat terhadap masalah yang penting saja
Kitab syarah yang ditulis oleh syaikh as-Sindi al-Madani (wafat tahun 1138 H). Syarah ini ditulis secara ringkas dan terbatas pada masalah yang penting saja. Tulisan syarah ini dicetak di pinggir matan as-Sunan









G. KESIMPULAN.


Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa Kutubussittah menjadi salah satu diantara referensi mereka yang ingin,akan dan sedang mendalami ilmu hadist,dan tentunya masih sangat banyak referensi yang lain yang memuat hal yang sama.
Masing-masing dari Kutubussitah memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing,tapi bagaimanapun juga kitab-kitab tersebut serta muallifnya telah memberikan sumbangsih maha besar bagi islam dan kaum muslimin khususnya bagi mereka yang mempelajari ilmu hadist.
Kerja keras mereka telah melahirkan maha karya luar biasa dalam hal menjaga,melestarikan dan melanjutkan hadis-hadis nabi dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Adalah suatu kesia-sian rasanya apabila dengan adanya literatur-literatur yang ada tidak di ikuti dengan penguasaan mendalam terhadap hadis-hadis nabi tsb.
Dengan harapan besar semoga kita semua dapat senantiasa mengetahui,mendalami dan mengamalkan Sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW yang termuat dalam Hadist-hadistnya.











H. DAFTAR PUSTAKA.


1. M. Muhammad Abu Syuhbah, “Kutubus Sittah”. Pustaka Progressif. Surabaya. Cet-2, Januari 1999
2. Al khatib,M.ajaj.Pokok-pokok ilmu Hadis,Gaya Media Pratama,1998
3. Ibnu Hajar Al asqalani,Bulughul Maram,Almaarif Bandung 1983
4. Sahaba encyclopadia,Mausuatussohabah.Harf Information technology
5. http://portege181.wordpress.com/index-artikel
6. http://www.boukhary.net/fatawa/jame3matar.htm

Sistem Pendidikan Islam di Indonesia

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN
Sistem pendidikan sebuah negara menjadi hal paling krusial atas tujuan dan suksesnya pendidikan di negara tersebut, semakin baik system pendidikan sebuah negara maka akan semakin berkwalitas juga pendidikan di negara tersebut.
Menurut Imam bamadib, Sistem adalah suatu gagasan atau prinsip yang bertautan, yang tergabung menjadi suatu keseluruhan. ' Dengan demikian maka sistem pendidikan adalah himpunan gagasan atau prinsip-prinsip pendidikan yang saling bertautan dan tergabung sehingga menjadi suatu keseluruhan
Sistem pendidikan di suatu negara didasarkan atas falsafah hidup negara itu. Falsafah hidup negara menggambarkan aspirasi rakyat dan pemerintah yang membuat sistem pendidikan itu mempunyai kekhususan.
.
Sistem pendidikan di negara negara barat misalnya, bercorak rasionalis, pragmatis dan materialis, itu dikarnakan falsafah hidup negara-negara barat adalah Rasionalis, Pragmatis dan Materialistik. Begitu pula falsafah negara kita yaitu Pancasila, membuat Sistem Pendidikan Nasional Indonesia bercorak khusus Indonesia yang tidak ditemui pada sistem pendidikan lainnya. Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.











B. SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
1. Pengertian Sistem Pendidikan Nasional
Sistem Pendidikan Nasional seperti dijelaskan dalam UU Rl No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional pendidikan.
2. Prinsip Sytem pendidikan Nasional
 Masih dalam UU yang sama,dijelaskan bahwa Sytem pendidikan Nasional mempunyai Prinsip-prinsip berikut ;
a. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkaitan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

b. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistematik dengan sistem terbuka dan multi makna.

c. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

d. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

e. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
f. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

3. Fungsi Sytem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu dan cakap (Bab II pasal 3 ayat 1-6). Butir-butir dalam tujuan Nasional tersebut terutama yang menyangkut nilai-nilai dan berbagai aspeknya, sepenuhnya adalah nilai-nilai dasar ajaran Islam, tidak ada yang bertentangan dengan tujuan pendidikan islam. Oleh karena itu, berkembangnya pendidikan Islam akan berpengaruh sekali terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional di maksud.
4. Jalur dan Jenis Pendidikan.
Selanjutnya di dalam Undang-undang tersebut dijelaskan tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan :

a. Jalur pendidikan dilaksanakan melalui :

1) Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur danberjenjang yang terdiri dari atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

2) Pendidikan nonfbrmal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara- terstruktur dan berjenjang.

3) Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.(Bab I pasal 1 ayat 11-13)

Pendidikan Islam dilaksanakan pada semua julur tersebut oleh karena itu pendidikan Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional.

b. Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan akademik,profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. (bab V pasal 16).

Yang dimaksud dengan pendidikan keagamaan di sini adalah merupakan pendidikan dasar, menengah, dan tinggi yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peran yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama. Oleh karena itu setiap orang Islam, dalam menjalankan peran hidupnya sebagai orang muslim, sangat berkepentingan dengan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan nilai, moral, dan sosial budaya keagamaan. Oleh karenanya, pendidikan Islam dengan lembaga-lembaganya, tidak bisa dipisahkan dari sistem pendidikan nasional.

5. Dalam pasal berikutnya dijelaskan lagi sebagai berikut ;

  Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.(Pasal 17 ayat 2).
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekalah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. (pasal 18 ayat 3). Satuan pendidikan Islam yang disebut dengan madrasah dalam PP no 20 tahun 1990 pasal 4 ayat 1 menegaskan bahwa SD dan SLTP yang berciri khas, agama Islam, yang diselenggarakan oleh Departemen Agama, masing-masing disebut Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah.
Dengan demikian, madrasah diakui sama dengan sekolah umum, dan merupakan satuan pendidikan yang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.

6. Selain jalur pendidikan formal, dalam jalur pendidikan non-formal pun pendidikan agama diakui eksistensinya, seperti dilihat dalam pasal-pasal berikut:
Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang.undangan.
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalan pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis, Ketentuan mengenai pendidikan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat: (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (pasal 30 ayat 1-5)

7. Selanjutnya tentang kurikulum dijelaskan

a. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

1) pendidikan agama

2) pendidikan kewarganegaraan

3) bahasa

4) matematika

5) ilmu pengetahuan alam

6) ilmu pengetahuan sosial

7) seni dan budaya

8) pendidikan jasmani dan olahraga

9) keterampilan/kejuruan dan

10) muatan lokal

b. Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

1) pendidikan agama

2) pendidikan kewarganegaraan, dan

3) bahasa

Berdasarkan kurikulum tersebut pendidikan agama termasuk pendidikan agama Islam merupakan bagian dari dasar dan inti kurikulum pendidikan nasional, dan dengan ini pendidikan agama Islam pun terpadu dalam sistem pendidikan nasional.
Kenyataan tersebut pada dasamya cukup menguntungkan bagi pendidikan Islam, sebab posisinya semakin kuat. Kalau selama ini mungkin pendidikan agama merasa tersisih, dengan UU Nomor 20 tahun 2003 ini status pendidikan agama adalah sama kuatnya dengan pendidikan umum.
Pendidikan Islam seperti uraian sebelumnya dikatakan sebagai suatu sistem karena ia sebagai totalitas fungsional dan bertujuan yang tersusun dari berbagai rangkaian elemen, unsur atau komponen. Totaritas fungsional yang dimaksud tentu saja dalam rangka pembinaan dan pengembangan baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Setiap komponen tersebut mempunyai bentuk tersendiri yang jauh berbeda dengan komponen-komponen sistem pendidikan barat (non Islam).
Apabila di dunia Islam pendidikan dalam arti yang luas disebut sebagai sistem, maka di Indonesia dalam sistem Pendidikan Nasional keberadaan pendidikan Islam adalah sebagai sub-sistem dari sistem pendidikan nasional.

C. KEDUDUKAN DAN PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

1.Pengertian Pendidikan Islam
Istilah “Pendidikan” dalam konteks Islam dikenal dengan menggunakan term (at-Tarbiyah, at-Ta’lim, at-Ta’dib, dan ar-Riyadloh). Setidaknya term tersebut mempunyai makna yang berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, walaupun dalam hal-hal tertentu, term-term tersebut mempunyai kesamaan makna.  
Pengertian istilah menurut Muhammad al-Toumi al-Syaibany : Proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat Menurut Muhammad Fadlil al-Jamaly : Upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan. Menurut Ahmad Tafsir pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.  
2. Pengertian Ilmu Pendidikan Islam
Menurut HM.Arifin, : Ilmu Pendidikan Islam adalah Studi tentang system dan proses kependidikan yang berdasarkan Islam untuk mencapai produk atau tujuannya, baik studi secara teoritik maupun praktik. Menurut Ahmad Tafsir : Ilmu pendidikan adalah ilmu pendidikan yang berdasar al-Qur’an Hadits dan akal. Menurut Abu Ahmadi : Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu yang mengkaji pandangan Islam tentang pendidikan yang menafsirkan nilai-nilai Ilahiyah dan mengkomunikasikan secara timbal balik dengan fenomena dalam situasi pendidikan. Jadi ilmu Pendidikan Islam adalah ilmu yang membahas secara teoritis-normatif persoalan-persoalan pendidikan berdasarkan nilai-nilai Ilahiyah untuk menganalisis fenomena dan praktek pendidikan
3. Ilmu Pendidikan Islam Sebagai Ilmu Pengetahuan 
Menurut Sutari Imam Barnadib. Ilmu pengetahuan ialah suatu uraian yang lengkap dan tersusun tentang suatu obyek. Dan ciri-cirinya : mempunyai obyek, logis, sistematis, dan metodologis.  
Persyaratan yang perlu dipenuhi oleh Ilmu Pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu, menenurut ketentuan ilmu pengetahuan sosial (social science) secara umum adalah mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Memiliki objek pembahasan yang jelas dan yang bercorak khas kependidikan yang ditunjang dengan ilmu pengetahuan lain yang relevan.
b. Mempunyai pandangan teori, asumsi, atau hepotesa-hepotesa yang bercorak kependidikan (paedagogis) bersumberkan ajaran Islam.
c. Memiliki metode penganalisaan yang sesuai dengan tuntutan dari corak keilmuan kependidikan yang bernafaskan Islam atas darar pendekatan-pendekatan yang relevan dengan corak dan watak keilmuan tersebut.
d. Memiliki struktur keilmuan yang definistif mengandung suatu kebulatan dari bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan sebagai suatu sistem keilmuan yang mandiri (tidak bergantung kepada sistem keilmuan yang lain). 

4. Kedudukan pendidikan islam
Kedudukan pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional adakalanya sebagai mata pelajaran dan adakala sebagai lembaga.
a. Sebagai mata pelajaran
Istilah "Pendidikan Agama Islam" di Indonesia dipergunakan untuk nama suatu mata pelajaran di lingkungan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan Agama dalam hal ini agama Islam termasuk dalam struktur kurikulum. Ia masuk ke dalam kelompok mata pelajaran wajib dalam setiap jalur jenis dan jenjang pendidikan, berpadanan dengan mata pelajaran lain seperti pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, sosial dan budaya (Pasal 37 ayat 1). Memang semenjak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia sampai terwujudnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan disempurnakan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional eksistensi pendidikan Islam sudah diakui oleh pemerintah sebagai mata poelajaran wajib di sekolah (SD s.d PT)
b. Sebagai lembaga
Apabila pendidikan agama Islam di lingkungan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional terwujud sebagai mata pelajaran, maka di lingkungan Departemen Agama terwujud sebagai satuan pendidikan yang berjenjang naik mulai dari Taman Kanak (Raudhat al-Athfat), sampai ke Perguruan tinggi (AI-Jamiat). Pengertian Pendidikan Keagamaan Islam disini mengacu kepada satuan pendidikan keagamaan atau lembaga pendidikan keagamaan Islam. Kalau dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, lembaga pendidikan keagamaan yang diakui eksistensinya hanya yang berada padajalur pendidikan formal (sekolah). Namun dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Lembaga Pendidikan Keagamaan ini dapat dilaksanakan padajalur pendidikan non formal (pesantren, madrasah diniyah) dan dalam keluarga (pendidikan in-formal).
5. Peran Pendidikan Islam

a. Sebagai Mata Pelajaran
Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran wajib di seluruh sekolah di Indonesia berperan :
1) Mempercepat proses pencapaian tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang MahaEsa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Secara sederhana dapat dirinci point-point yang terdapat dalam tujuan Nasional tersebut:

1.1) Berkembangnya potensi peserta didik

1.2) Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa

1.3) Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri.
1.4) Menjadi warga negara yang demokratis.

1.5) Bertanggung jawab

Di dalam rumusan tujuan tersebut terdapat istilah "irnan" dan "taqwa" kedua istilah tersebut mempunyai kaitan yang erat dengan ajaran Islam.
Memahami tujuan pendidikan Nasional tersebut hendaklah sebagai satu kesatuan yang utuh, terpadu, saling mengisi dan mengokohkan dan jangan dipreteli dan dipahami secara terpisah. Seperti dikatakan sebelumnya, Pendidikan Nasional kita selama ini banyak berpedomankepada sistem pendidikan Barat, para ilmuan kita masih ada yang dipengaruhi oleh sistem berpikir ilmiah Barat yang rasionalistik dan sekularistik. Mereka menafsirkan "iman" dan "taqwa" dengan pola berpikir Barat itu. Di samping itu masyarakat kita adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri atas berbagai ragam budaya, nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat; tidak mustahil pula ada diantara ilmuan yang masih taqlid dengan budaya, nilai dan kepercayaan yang dianutnya sehingga mereka menafsirkan konsep "iman dan taqwa dalam pengertian tidak tepat. Selain itu sampai sekarang belum ada konsensus nasional mengenai pengertian "iman" dan "taqwa" walaupun mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Oleh karena itu "iman" dan "taqwa" sangatlah bijaksana kalau kita tafsirkan dengan pendekatan Islami, karena memang istilah itu berasal dari ajaran Islam, apalagi penduduk Indonesia +, 85% penganut Islam. Dalam Islam "Iman" dan "taqwa" sebagai penyanggah utama dalam struktur bangunan keagamaan dan kehidupan. Iman sebagai landasan dalam kehidupan dan taqwa tujuannya. Kedua mewamai aktivitas manusia dalam kehidupannya baik alam aspek beragama maupun aspek lainnya. Oleh karena itu "iman" dan "taqwa" bukan saja merupakan urusan kepercayaan dan ibadah batin semata-mata yang bersifat pribadi melainkan mempunyai ekstensi terhadap aspek kehidupan lainnya, baik secara individu maupun secara kolektif.

Muhammad Raji AI-Farugi ' dan Sardar ) memberikan penafsiran tentang "iman" dan "taqwa". Menurut a-AI-Faruqi "iman" dan tauhid" inti dari esensi dari ajaran Islam, merupakan pandangan umum dari realitas kebenaran dan waktu, sejarah dan nasib manusia sebagai pandangan umum ia tegakkan atas dasar teology, capacity of man,dan responsibility and judgment, dan sebagai falsafahi dan pandangan hidup memiliki implikasi dalam segala aspek kehidupan dan pemikiran manusia, seperti dalam sejarah, pengetahuan, filsafat, etika, sosial, ummah, keluarga, ekonomi ketertiban dunia dan estetika. Taqwa menurut Sardar bukan merupakan suatu konsep teori; dia memerlukan kenyaiaan dalam karya, gerak dan interaksi. Untuk memperoleh taqwa tidak hanya cukup berupa pernyataan percaya dan cinta kepada Allah melalui peribadatan sja, tetapi juga pelayanan dan perhatian kepada orang lain melalui kebenaran, kejujuran dan keikhlasan.
Jadi "iman" dan "taqwa" bukan hanya mendasari dan mewarnai hubungan manusia dengan Tuhan saja, tetapi hubungan manusia dengnn masynrnkat dan lingkungnnnya ; bukan hanya mendasari aspek ubudiah saja tetapi juga aspek muamalah lainnya.
Kalau pcnafsiran ini kita tcrapkan kepada "iman" dan "taqwa" dalam rumusan tujuan nasional maka setiap bagian/butir dalam rumusan tujuan nasional (akhlak, mulia sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, demokratis bertanggung jawab) harus berlandaskan dan dijiwai oleh roh "iman" dan "taqwa" dan apapun rincian dari tujuan umum yang kita buat, ataupun tujuan yang lebih rendah dari itu seperti tujuan institusional, tujuan kurikuler haruslah dijiwai oleh "iman" dan "taqwa".
Seperti dijelaskan sebelumnya "iman" dan "taqwa" istilah yang erat hubungannya dengan agama khususnya Islam, maka untuk menumbuh kembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa haruslahmelalui pendekatan dan bimbingan agama, khususnya agama Islam; baik melalui mata pelajaran pendidikan agama Islam sebagai matapelajaran wajib maupun melalui lembaga pendidikan keagamaanIslam.
Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa mata pelajaran pendidikan agama Islam mempunyai peran yang menentukan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional.
2) Memberikan nilai terhadap mata pelajaran umum
Seperti kita ketahui bahwa mata pelajaran umum yang diajarkan di sekolah adalah ilmu pengetahuan produk Barat yang bebas dari nilai(values free). Agar mata pelajaran umum yang diajarkan di sekolah/madrasah mempunyai nilai maka pendidikan agama Islam dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran tersebut - apalagi dalam kurikulum sekolah pendidikan agama terletak pada urutan pertama. Nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam inilah yang di internalisasikan dalam proses pembelajaran kepada peserta didik.
b. Sebagai Lembaga (institusi)
1) Lembaga pendidikan Islam (pondok pesantren) berperan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jauh sebelum adanya sekolah, pesantren sudah lebih kurang tiga abad mencerdaskan kehidupan bangsa. Tercatat dalam Sejarah Pendidikan Nasional, pesantren sudah ada semenjak masuknya Islam ke Indonesia mulai dari masa kolonial Belanda sampai sekarang. Apalagi pesantren yang bersifat populis banyak sekali diminati oleh masyarakat.
2) Lembaga pendidikan Islam (madrasah dan pesantren) bersama dengan satuan pendidikan lainnya dalam sistem pendidikan Nasional bersama-sama menuntaskan pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.
3) Lembaga Pendidikan Islam (Madrasah Diniyah) berperan mendidik anak-anak yang drop-out, anak-anak yang tidak berkesempatan memasuki lembaga pendidikan formal - dan sekaligusjuga menambah dan memperkuat pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah karena keterbatasanjam pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, maka peserta didik dapat memperluas dan memperdalam mata pelajaran ini di Madrasah Diniyah (MDA, MDW dan MDU).


D. KESIMPULAN

Beberapa hal penting dapat disimpulkan dari uraian pendek diatas, diantaranya ;
i. System pendidikan sangat berperan dalam menyukseskan proses pembelajaran di sebuah negara. Semakain baik system yang di pakai maka akan semakin baik juga kwalitas pendidikan di negara tersebut,juga sebaliknya.
ii. System pendidikan sebuah negara disesuaikan dengan falsafah negara tersebut.
iii. System pendidikan nasional secara umum mempunyai ciri,prinsip,fungsi dan jalur pendidikan yang ditempuh anak didik dalam proses pembelajaran.
iv. Pendidikan Islam mempunyai kedudukan,fungsi dan peran tersendiri bagi sestem pendidikan nasional.
v. Sebagai sebuah mata pelajaran,pendidikan islam diharapkan bisa memberikan warna bagi pendidikan umum dalam upaya kwalitas ketaqwaan peserta didik kepada tuhan yang maha kuasa.
vi. Sebagai sebuah Institusi,pendidikan Islam telah banyak memberikan kontribusi positif kepada masyarakat umum dan turut serta dalam mencerdaskan bangsa dan negara.







E. DAFTAR PUSTAKA 

1. Imam Bamadih, Filsafal Pendidikan Penganlar Mengenai Sislem Dan Melode (Yogyakarta : U1P, 1K1P,1982).

2. Muhaimin, Tadjab, Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Filosofis Dan Kerangka DasarOperasionalnya (Bandung : Trigenda Karya, 1993
3. Oemar Muhammad At-Toumy As-Syaibany, Falsafat at-Tarbiyah al-Islamiyah. Terjemah. Hasan Langgulung, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1979),
4. Muhammad Fadil al-Jamaly, Tarbiyatul Insan al-Jadid (Tunisia : Matba’ah al-Ittihad, 1967
5. HM. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarjkan Perdekatan Interdisipliner (Jakarta : Bumi Aksara, 1991
6. Abu Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta : Aditya Media, 1993)

HAM dalam Al Qur'an

A. PENDAHULUAN.

HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun,sedangkan Islam adalah agama rahmatan lil'ālamin (agama yang mengayomi seluruh alam). Islam mengakui perbedaan sebagai kenyataan tak terbantahkan. Dengan pengakuan ini, Islam menghormati keragaman dan menganjurkan agar keragaman menjadi instrumen kerja sama di antara manusia. Perbedaan adalah sunnatullah, karena dengannya manusia bisa saling melengkapi (take and give). Seperti yang dijelaskan dalam surat Al hujurat: 13. yang berbunyi :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Yang artinya : Wahai manusia,sesungguhnya Kami ciptakan kalian semua dari jenis laki-laki dan perempuan,dan kami ciptakan kalian semua berbangsa-bangsa dan golongan-golongan agar supaya kalian saling mengenal,sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian dimata Allah adalah yang paling taqwa".
Selanjutnya, Perlu dicatat bahwa inti dari HAM adalah egalitarianisme,demokrasi, persamaan hak di depan hukum, dan keadilan sosial, ekonomi, dan budaya. Elemen-elemen itu mengejawantah dalam bentuk di antaranya dalam perbedaan dan keragaman dalam arti yang luas. Perbedaan, misalnya dalam pandangan Islam, adalah kehendak Allah karena itu segala upaya yang memaksa agar semua manusia itu seragam (satu agama, satu bangsa, satu warna kulit, satu opini politik) adalah penyangkalan terhadap sunnatullah dimana Allah menegaskan hal tersebut dalam Al_Qur’an yang berbunyi

  

"yang artinya : dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?" QS, Yunus [10]: 99.
Islam adalah ajaran pertama yang mangakui hak asasi manusia di tengah kegelapan dan perbudakan dunia. Islam menjadikan itu sebagai prinsip nilai akidah, yang ia memuliakan manusia dan memberikan kepadanya kebebasan dan kemuliaan hidup. Maka ia pun menghormati darah, harga diri, dan harta bendanya. Ia tidak memaksa orang untuk beragama atau berkeyakinan apapun, namun sekedar menuntun. Ia menghargai pilihan, pikiran dan pengetahuannya.
Jadi jelaslah disini bahwa Islam sebagai sebuah agama sangatlah mempunyai perhatian besar terhadap hak-hak dasar manusia tersebut,dan dalam hal ini Al-Quran yang menjadi sumber utama hukum Islam berbicara dan menjelaskan banyak hal didalam masalah yang berhubungan dengan hak asasi manusia tersebut.


















B.. Hak asasi manusia menurut Al-Qur'an

Adapun hak-hak asasi manusia yang dijelaskan di dalam Al-Qur'an antara lain adalah ; 
1. Hak hidup  
  Hak hidup adalah hak asasi yang paling utama bagi manusia. Yang merupakan karunia Allah bagi setiap manusia. Perlindungan hukum islam terhadap hak hidup manusia dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan syari'ah yang melindungi dan menjunjung tinggi darah dan nyawa manusia, melalui larangan membunuh, ketentuan qishash dan larangan bunuh diri.
Membunuh adalah salah satu dosa besar yang diancam dengan balasan neraka
sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Nisa' ayat 93:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
""Dan barang siapa membunuhi seorang muslim dengan sengaja maka balasannya adalah jahannam, kekal dia di dalamnya dan Allah murka atasnya dan melaknatnya serta menyediakan baginya azab yang berat "
Setiap tindakan pembunuhan atau perbuatan yang membahayakan orang lain mesti memiliki kolerasi baik langsung atau tidak,pembunuhan terhadap satu orang saja di dalam Al-qur'an di gambarkan bagaikan membunuh terhadap seluruh manusia sebaliknya memelihara kehidupan satu orang berarti juga memelihara kehidupan manusia seluruhnya,sebagaimana terlihat dalam firman Allah dalam Surat Al-Maidah ayat 32 ;
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

"Barang siapa yang membunuh seorang manusia. bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan membuat kerusakan dimuka bumi,maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia,dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan semua manusia".
Dalam tafsirnya Ibnu katsir memaparkan hal tersebut bisa terjadi karena dia sudah tidak bisa membedakan satu orang dengan lainnya,sehingga apabila dia berani membunuh satu orang maka dia akan berani pula membunuh yang lain .
Adanya ketentuan qishash merupakan konsekwensi dari larangan membunuh.
Qishash adalah sanksi hukum mengenai kejahatan terhadap diri dan orang lain. Qishash ini diwajibakan Allh sebagai tindakan pencegahan untuk menjaga dan memelihara kelangsungan hidup ummat manusia yang adil ,aman dan tenteram,hal ini seperti firman Allah dalam surat Al baqarah ayat 178 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى
"hai orang-orang yang beriman ,diwajibkan kepada kalian Qishash dalam perkara pembunuhan,orang merdeka dengan orang merdeka,hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan".
Islam juga mengharamkan bunuh diri atau memikirirkan bunuh diri dan mencita-citakan untuk bunuh diri,itu semua untuk menjamin dan menjaga hak hidup dengan harapan kalau kita terus hidup bisa menambah kebaikan dan memperbaiki kesalahan .

2. Hak kebebasan beragama

Dalam Islam,kebebasan dan kemerdekaan merupakan hak asasi manusia,termasuk didalamnya kebebasan menganut agama sesuai dengan keyakinannya,oleh karna itu islam melarang keras adanya pemaksaan keyakinan kepada orang yang telah menganut agama tertentu,hal ini dijelaskan Allah didalam surat Al baqarah ayat 256 :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
"tidak paksaan untuk memasuki agama islam,sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah "
As-Syaukani dalam tafsirnya menjelaskan,maksud ayat ini adalah : janganlah kalian memaksa orang lain untuk memeluk agama islam,karena semua telah sangat jelas,dalil dan bukti islam tidak butuh pemaksaan terhadap orang lain untuk bisa masuk kedalam Islam .
Kemerdekaan beragama terwujud dalam hal-hal berikut ini ;
Pertama ,tidak ada paksaan untuk memeluk suatu atau kepercayaan tertentu atau paksaan untuk muninggalkan agama yang telah di yakininya.
Kedua, Islam memberikan kekuasaan kepada Ahlul Kitab untuk melakukan apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka terhadap agama mereka,sepanjang mereka ada dalam kekuasaan pemerintah muslim,asalkan tidak bertentangan dengan hukum-hukum islam yang berlaku di negara tersebut.
Ketiga, Islam menjaga kehormatan Ahlul kitab,bahkan lebih itu,mereka diberi kebebasan untuk mengadakan perdebatan dan bertukan pikiran serta pendapat dengan batasan tertentu dan menjauhkan kekerasan dan pemaksaan .
Islam memberikan respon positif atas keberagaman serta tolerasnsi antar ummat beragama,ini tercermin dari larangan untuk mencaci maki sembahan mereka seperti yang dijelaskan didalam surat Al-an'am ayat 108 :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
"Dan janganlah kalian memaki orang-orang yang menyembah selain Allah,karena nantinya mereka akan memaki Allah melampaui batas tampa pengetahuan"
Namun demikian perlu diperjalas bahwa kerukunan dan toleransi yang dimaksud hanya terbatas dalam hal-hal yang bersifat muamalah atau kemasyarakatan,tidak ada toleransi dalam hal akidah dan keyakinan,Islam hanya mengakui keberagaman agama bukan kebenaran semua agama,sebagaiman firman Allah dalam surat Yunus ayat 41 :
وَإِنْ كَذَّبُوكَ فَقُلْ لِي عَمَلِي وَلَكُمْ عَمَلُكُمْ أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
"Dan apabila mereka tidak mempercayaimu maka katakanlah : bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu,kamu terlepas dari apa yang aku kerjakan dan aku terlepas dari apa yang kamu kerjakan"

3. Hak atas keadilan

Keadilan adalah dasar dari cita-cita Islam dan merupakan disiplin mutlak untuk menegakkan kehormatan manusia, dalam hal ini banyak sekali ayat-ayat Al-qur'an maupun Sunnah yang mengajak untuk menegakkan keadilan,seperti terlihat dalam surat An-nahl ayat 90 :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan,memberi kepada kerabat dekat,dan Allah melarang perbuatan keji,kemungkaran dan permusuhan".
Imam Ar-Razi dalam tafsir Ar-Razi mengatakan,ayat ini mengandung pemahaman yang sangat umum,berhubungan dengan segala hal yang merupakan kewajiban atau sesuatu yang disunnahkan,juga mempunyai hubungan erat dengat akhlak dan etika secara khusus ataupun secara umum .
Keadilan adalah hak setiap manusia dan menjadi dasar bagi setiap hubungan individu,oleh karena itu merupakan hak setiap orang untuk meminta perlakuan adil dan perlindungan kepada penguasa yang sah,dan menjadi kewajiban bagi penguasa untuk menegakkan keadilan dan memberikan jaminan keamanan yang cukup kepada warganya .

4. Hak persamaan

Islam tidak hanya mengakui prinsip kesamaan derajat mutlak diantara manusia tampa memandang warna kulit,ras atau kebangsaan,melainkan juga menjadikannya realitas yangpenting. Ini berarti bahwa pembagian ummat manusia kedalam bangsa-bangsa,ras-ras,kelompok-kelompok dan suku-suku adalah demi untuk adanya perbedaan,sehingga rakyat dari satu ras atau suku dapat berkenalan dengan ras atau suku lainnya,sebagai mana firman Allah dalam surat Al-hujurat ayat 13 :
َ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
"hai manusia,kami ciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal,sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian adalah yang paling bertaqwa".
Sangat tepat apa yang di tafsirkan Imam Al Baidawi dalam Tafsir Al Baidawi tentang ayat ini,menurutnya setiap manusia berasal dari bapak yang sama juga ibu yang sama yaitu Nabi Adam dan istrinya Hawa,masing-masing manusia terlahir dari dari bapak dan ibu yang juga manusia biasa,maka tidak alasan untuk menyombongkan diri terhadap orang yang lain.
Dengan demikian maka adanya perbedaan ras,bangsa dan suku bukanlah alasan untuk menyombongkan diri dan menunjukkan superioritas terhadap golongan yang lain,dan juga bukan dimaksudkan agar satu bangsa bisa merendahkan atau melecehkan bangsa lain.
Adanya pengakuan terhadap persamaan manusia didalam islam berimplikasi pada kesamaan kedudukan di depan hukum,tidak ada pandang bulu dan pilih kasih dalam hukum islam,setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama,demikian pula setiap orang dapat diberikan sanksi yang sama apabila melanggar hukum islam.
Contoh kecilnya,seperti yang dimisalkan Al-quran,seorang pencuri baik laki-laki atau perempuan dikenai hukuman yang sama yaitu potongan tangan,seorang yang berzina mukhson baik laki-laki atau perempuan juga dikenai hukuman yang sama yaitu rajam hingga tewas .

5. Hak mendapatkan pendidikan

Setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran,ia berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan kesanggupan alaminya,dalam islam,mendapatkan pendidikan bukan hanya menjadi hak tapi juga menjadi kewajiban bagi setiap manusia,sangat berasalan apabila ayat pertama yang diturunkan adalah surat Al_alaq yang menggambarkan pentingnya membaca yang merupakan pintu bagi ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Pentingnya pendidikan ini karena sangatlah berarti bagi kehidupan setiap orang baik untuk dirinya sendiri,keluarga,masyarakat.bangsa dan tentu saja untuk agamanya.Dengan pendidikan orang akan menyadari harga dirinya dan martabatnya sebagai manusia juga ia akan dapat membuka pikiran,wawasannya serta dapat memaknai hidup dan kehidupan,dan yang paling penting dia dapat memikirkan dan mensyukuri apa yang telah diberikan Allah SWT kepadanya.
Allah memberikan penghargaan kepada mereka yang berilmu seperti yang dijelaskan didalam surat Al-mujadalah ayat 11:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"sesungguhnya Allah meninggikan derajat mereka yang beriman dan mereka-mereka yang mempunyai ilmu"
Dalam hal ini Al Baidawi mencoba menafsirkan bahwa diantara kelebihan mereka yang mempunyai ilmu dibanding dengan yang tidak berilmu adalah; didunia mereka yang mempunyai ilmu mendapatkan penghargaan dan apreasiasi yang baik dari manusia dan di akhirat mendapat tempat yang tinggi dari Allah SWT .

6. Hak kebebasan berpendapat.

Dalam Islam,setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan mengemukakan ide pemikirannya,tapi tentunya dalam batas-batas yang ditentukan hukum dan norma-norma yang berlaku,jadi tidaklah dibenarkan dengan mengatasnamakan kebebasan berpendapat seseorang dapat dengan mudahnya menyebarkan fitnah dan berita-berita yang dapat mengganggu ketertiban umum dan mencemarkan nama baik orang lain,dalam mengemukakan pendapat hendaknya didasari untuk menciptakan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Sejak awal Islam diturunkan,sudah menjadi tradisi dikalangan sahabat nabi bertanya kepada baginda nabi tentang berbagai hal yang berhubungan dengan hukum dan permasalahan Islam lainnya,budaya mengkritisi sesuatu yang dinilai salah juga sangat terbiasa dilakukan oleh para sahabat bahkan terhadap keputusan baginda nabi sendiri,seperti ketika dalam perang Badar ketika Nabi menempatkan pasukan Islam disebuah tempat yang kurang strategis lalu kemudian dikritisi oleh para sahabat dan akhirnya nabi pun membawa pasukannya meninggalkan lokasi tersebut dan menempatkannya di dekat mata air Badr.
Dalam Al-Qur'an sangatlah banyak ayat-ayat yang di akhiri dengan anjuran untuk berfikir yang merupakan tahap dasar untuk mengemukan pendapat,ayat-ayat yang di akhiri dengan bunyi (أفلا يتفكرون) (أفلا يعقلون)sangat lah banyak jumlahnya .
Prinsip musyawarah yang merupakan wadah untuk mengemukakan pendapat juga dinilai sangat penting dalam islam,belajar dari sejarah,maka kita akan melihat bahwa hampir semua keputusan penting Nabi dan para sahabat terlahir dari musyawarah,bahkan akhirnya Al-qur'an akhirnya mengatakan dalam surat As-Sura ayat 38:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
"Dan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah diantara mereka"
Imam Jalaluddin Assuyuti dalam tafsirnya memaknai ayat ini bahwa mereka selalu bermusyawarah dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan suatu permasalahan.
Dengan demikian maka diharapkan pendapat yang diutarakan akhiranya dapat memutuskan sebuah keputusan yang tepat dan benar melalui forum musyawarah diantara mereka sendiri .

7. Hak mendapatkan pekerjaan.

Islam sangat menganjurkan ummat Islam agar menjadi ummat yang produktif,kreatif dan mandiri,dan sebaliknya Islam melarang dan bahkan mengecam budaya bermalas-malasan,berpangku tangan dan menjadi beban orang lain.
Sangat banyak dalil baik dari Al-qur'an maupun Hadist Nabi yang menjelaskan hal tersebut,seperti firman Allah dalam surat Al-Qasas ayat 77 :
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
"Dan carilah apa yg telah Allah berikan kepadamu dalam urusan Akhirat dan jangan lupakan bagianmu dari apa-apa yang ada di alam dunia"
Dalam kitab Aysarut tafasir dijelaskan maksud ayat ini adalah : hendaklah mempersiapkan diri untuk Akhirat dengan cara berinfak,beramal baik,seperi membangun masjid dan lainnya,dan untuk urusan dunia diperbolehkan menikmati kenikmatan dunia dengan tampa berlebihan .
Pekerjaan dalam Islam bukan hanya hak tapi juga kewajiban dimana setiap orang diperintahkan untuk mendapatkanya.
Ada 2 prinsip Islam tentang masalah pekerjaan ini,yaitu ;
Pertama,harus ada keseimbangan antara pekerjaan untuk mendapatkan dunia dan perbuatan untuk bekal Akhirat nanti,jadi tidak dibenarkan seseorang yang dalam hidupnya diisi hanya untuk mencari materi dunia saja dan melupakan urusan akhirat,juga sebaliknya,seperti tercermin dalam ayat diatas.
KeduaProfesionalitas dalam pekerjaan,dimana seseorang dari pekerjaannya dapat menghasilkan sesuatu yang bermutu baik,bukanlah pekerjaan yang baik dalam Islam yang dikerjakan asal-asalan tampa dasar skill dan kemampuan yang memadai untuk pekerjaannya tersebut,seperti penjelasan Al-qur'an dalam surat Al-Mulk ayat 2 :
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
"Dialah yang menjadikan hidup dan mati,supaya dia menguji kalian siapa diantara kalian yang paling baik amal perbuatannya"
Dalam Islam bekerja itu adalah ibadah,dan oleh karena itu setiap pekerjaan yang baik akan mendapatkan pahala dari Allah SWT,dan Allah senantiasa menyuruh kepada ummat manusia untuk mencari rizqi dengan cara apapun dan dimanapun asalkan tidak bententangan dengan syari'at Islam .

8. Hak kepemilikan.

Islam menjamin kepemilikan yang sah bagi tiap orang dan mengharamkan penggunaan cara yang tidak benar untuk mendapatkan harta orang lain yang bukan haknya.bukan itu saja,Islam juga melarang segala muamalah atau transaksi yang akan berdampak merugikan orang lain,seperti riba,ghasab,dll.setiap orang haruslah mengerjakan dan memiliki apa-apa yang memang miliknya sendiri bukan hak milik orang lain,tidak boleh sesorang memakan harta dan hak orang lain,seperti yang dijelaskan dalam surat As-Baqarah ayat 188 :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain diantara kalian dengan cara yang Bathil dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim agar kalian dapat memakan harta benda orang lain dengan jalan berbuat dosa padahal kalian mengatahuinya".
Menurut Ibnu Abbas diantara cara bathil yang dimaksud adalah dengan cara mendzalimi,mencuri,ghasab,dan bersumpah palsu untuk memperoleh apa yang bukan haknya .
Islam memerintahkan setiap orang dapat menjaga hak miliknya sendiri dan dapat juga mengetahui dan menghormati hak milik orang lain,sehingga dengan demikian tidak akan ada orang yang didzalimi dan diuntungkan dalam hal ini,dan setiap transaksi haruslah transaksi yang benar dan tidak merugikan fihak lain.

























C.kesimpulan
Dalam Islam, posisi manusia amat penting dan mulia. Hubungan antara Allah, alam semesta, dan manusia bahkan menjadi tema utama dalam keseluruhan pembicaraan al-Qur'an. Ini menunjukkan bahwa trikotomi hubungan antara Allah, alam semesta, dan manusia menempatkan hubungan yang sinergis dan harmonis. Dilihat dari kacamata HAM, trikotomi hubungan itu menunjukan bahwa alam semesta dan manusia harus saling berkerjasama untuk memenuhi sunnatullah dan memperoleh ridha Allah.
Karena itu, nilai-nilai HAM dengan prinsip-prinsipnya yang universal adalah bagian dari semangat dan nilai-nilai Syari'ah. Keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya justru membentuk sebuah sinergitas yang harmonis. Dengan menilik potensi-potensi nilai HAM dalam Syari'ah, masa depan HAM di dalam tradisi Islam justru amat cerah dan memperoleh topangan yang amat kuat. Pertumbuhannya akan mengalami gerak naik yang amat menggembirakan. Dibutuhkan pemahaman para ulama yang makin baik tentang sumber-sumber Syari'ah dan wawasan kemodern tentang HAM. Dengan wawasan yang luas tentang ini, para ulama akan menjadi avant-guard (garda depan) bagi penegakan HAM berdasarkan Syari'ah dan nilai-nilai universal.
















D. Daftar Pustaka.

1. Al Qur'an Al Karim.
2. Ibnu Katsir,Tafsirul Qur'anil Adzim, Maktaba Syamila Ensyclopedia.
3. As Saukani,Fathul qadir. Maktaba Syamila Ensyclopedia.
4. Ar_Razi,Tafsir Al Kabir(Mafatihul Ghaib). Maktaba Syamila Ensyclopedia.
5. Al Baidawi,Anwarut Tanzil. Maktaba Syamila Ensyclopedia.
6. Abu Bakar Al Jazairi,Aysarut Tafasir, Maktaba Syamila Ensyclopedia.
7. Jalaluddin As Suyuti,Tafsirul Jalalaini, Maktaba Syamila Ensyclopedia
8. Ibnu Abbas,Tanwirul Miqbas min tafsiri Ibni Abbas. Maktaba Syamila Ensyclopedia
9. M.Lukmanul Hakim,Deklarasi Islam tentang HAM,Risalah Gusti Surabaya,1993.
10. Harun Nasition,Hak Asasi Manusia dalam Islam,Yayasan Obor Indonesia,Jakarta 1987.
11. Dalizar Putra,Hak asasi manusia menurut Al Qur'an,PT Al husna Dzikra,Jakarta,1995
12. Egy Sujana,HAM dalam prespektif Islam,Nuansa Madani Jakarta,2002









 

Makalah s2 Magister Studi Islam

KESETARAAN GENDER DAN FEMINISME
MENURUT AMINA WADUD

A. PENDAHULUAN
Wacana tentang perempuan adalah wilayah yang menembus batas-batas Negara. Tak hanya di Negara Barat dan Indonesia tapi juga di wilayah –wilayah yang lain. Munculnya gerakan feminisme dibagian dunia lebih maju, sebagai contoh kaum perempuan yang melalui perjuangan menghapuskan kesenjangan, dan meraih kedudukan setara dengan kedudukan lawan jenis.
Pada dasarnya para feminis mempunyai kesadaran yang sama tentang adanya ketidakadilan gender terhadap perempuan, tapi mereka berbeda dalam menganalisis sebab terjadinya ketidakadilan tersebut dan juga berbeda pendapat tentang bentuk dan target yang hendak dicapai oleh perjuangan mereka. Feminisme diartikan sebagai g erakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut.

  Feminisme global yang lahir di Barat belah menjadi sebuah senjata yang akan mematikan bagi kontruksi masyarakat Barat sendiri dimana kehidupan dalam ranah keluarga cenderung membuat perempuan kehilangan fungsi sosialnya. Di mana keluarga merupakan bangunan dasar terbentuknya negara. Anak-anak yang lahir di Barat kurang dibekali nilai -nilai kehidupan dalam keluarga sehingga mereka kehilangan kesejahteraan akan kehidupan itu sendiri. Seharusnya seorang wanita bangga menjadi seorang ibu rumah tangga, mengapa Demikian ? karena dialah yang melahirkan pemimpin, dialah yang membentuk nilai -nilai kehidupan anaknya, dialah motivator keluarga, dialah rasa kebanggan akan keluarga, dengan kehadirannya kasih sayang dipancarkan pada segenap keluarga (surga di bawah telapak kaki ibu) ingat semboyan ini sejatinya bahwa perempuan adalah tiang negara inilah yang saat ini paradigma kontruktif feminisme bahwa perempuan lebih bangga menjadi seorang politikus dari pada pendidik keluarga. Harusnya bangunan kultur masyarakat di bangun atas dasar fungsi sosial. Disinilah kita berperan sebagai nasib bangsa ini ke depannya, disaat keseimbangan dalam keluarga menjadi disharmonis.

B. LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN AMINA WADUD 
A. Biografi Amina Wadud 
Amina Wadud lahir Di Amerika pada tahun 1952. Ia seorang guru besar (Profesor) pada Universitas Commonwealth, di Richmond Virginia . Amina Wadud adalah seorang keturunan blasteran antara Afrika dan Amerika, ibunya berasal dari Afrika dan bapaknya adalah seorang Amerika. Amina Wadud adalah seorang dari delapan bersaudara. Pada masa kecilnya bapak dari Amina Wadud berprofesi sebagai penjaga dan pelayan di salah satu gereja di Amerika yaitu gereja metodis, karena keluarganya berasal dari kalangan keluarga rendah maka orang-orang menyebutnya dengan istilah ”putaran” yaitu suatu keluarga miskin yang tidak mempunyai banyak uang .
Amina Wadud berasal dari keluarga penganut kristen yang taat. Ayahnya seorang pendeta. Amina sendiri masuk Islam bertepatan dengan datangnya gelombang kedua feminisme pada tahun 1970an. Dari Islam, ia merasakan pembebasan dan kedamaian. Pembebasan adalah hal penting bagi Amina yang mengakui bahwa dirinya seorang Nigger (keturunan Afrika), karena di Amerika seorang Nigger Seperti Amina yang memanggul beban sejarah penindasan selama lebih dari dua abad .
Ketika memasuki sekolah menengah atau sekolah lanjutan dari sekolah dasar, Amina Wadud memperoleh nilai yang sangat sempurna sehingga dia lulus dengan nilai yang sangat membanggakan. Setelah lulus dari sekolah menengah Amina melanjutkan sekolahnya disekolah lanjutan tingkatan atas atau SLTA di Massachusetts, DC. Amina tumbuh besar di sana, dan menghabiskan masa remaja di sana serta lulus dari sekolah tersebut .
Sehabis lulus dari sekolah lanjutan tingkat atas Amina melanjutkan studinya di Universitas Pennusylvania, dan Amina adalah orang pertama dari saudaranya yang merasakan atau mengeyam pelajaran di perguruan tinggi. Studinya di perguruan tinggi di mulai di University Of Pennsylvania bidang pendidikan (Education). Ia meraih gelar sarjana (BS) pada tahun 1975, kemudian ia melajutkan studi pasca sarjana ke The University of Michigan, Gelar Master (MA) diraihnya pada bulan Desember 1982 di bidang kajian-kajian ketimuran dekat (Near Castera Studies). Dari Universitas yang sama ia akhirnya menyambet gelar (Ph.D) pada Agustus 1988 dibidang kajian-kajian keIslaman dan Bahasa Arab (Islamic Studies and Arabic) . Lulus dari University of Pennsylvania, selama tahun 1976-1977 Amina menjadi dosen di jurusan Bahasa Inggris pada Gollege of Education, Universitas Gaz Yunis. El -Baida, Libya. Sepulang dari Libya, pada tahun 1979-1980 ia mengajar di Islamic Community Center School , Philadelpia, Amerika Serikat. Pada musim semi 1982 ia menjadi instruktur bahasa Inggris di Institute for English Language Instruction Kairo, Mesir pada Program Adult Education Program Transciber. Selama di Kairo, ia berkesempatan mendalami Bahasa Arab lanjut secara intensif di Amerika University, juga mendalami Studi Islam di Universitas Kairo dan Universitas Al -Azhar. Sepulang d ari Mesir ia menjadi Asisten Peneliti di The University of Michigan pada bagian pengembangan bahan-bahan pengajaran bahasa Arab, 1984-1986. 
Di penghujung 1980an, Amina hijrah ke Malaysia. Ia menjadi Asisten guru besar di International Islamic University, p ada Department of Islamic Revealed Knowledge and Heritage. Di Malaysia selain pengajar, Amina juga terlibat aktif dalam aksi -aksi penyuluhan dan pemberdayaan, khususnya untuk kaum perempuan, yang di Organisasikan oleh sebuah Non Government Organitation (NGO/LSM) Systems in Islam. Pada periode ini terjadi peralihan penting di dalam hidupnya, yaitu dari dosen atau peneliti ke aktivis di bidang "jihad gender”. Ia melibatkan versi awal Qur’an and Women di Kuala Lumpur pada tahun 1992. 
Sekembalinya dari Malaysia, Amina masuk Virginia Commonwealth University di Richmond, Virginia. Dari tahun 1992-1998, dengan masa cuti selama setahun pada tahun 1997-1998, ia menjadi asisten guru besar pada Department of Philosophy and Religious Studies. Pada tahun 1999, ia diangkat sebagai guru besar disana. Pada masa cuti setahun itu, 1997-1998 Amina menjadi peneliti dan dosen tamu pada Women’s Studied In Religion Program, Harvard Divinity School di Combridge. 
Amina wadud adalah seorang janda dengan lima anak, dua laki - laki bernama Muhammad dan khalilallah, sedangkan yang perempuan Hasna, Sahar dan Alaa (oleh Amina mereka dianggap lebih dari anak, saudara-saudara seIslam). 

B. Karya-Karya Amina Wadud 
Qur’an and Women merupakan satu-satunya karya tulis monumental Amina Wadud yang membentuk buku, dari sini tampilan fisik, sesungguhnya tidak ada yang istimewa dengan buku yng setebal xxvi = 112 halaman ini bahkan terkesan agak r ingkas untuk studi yang holistik dan menyeluruh tentang tema Gender dan Al -Qur’an yang membuatnya tidak dapat diabaikan ialah posisinya yang unik dalam khazanah tafisr Al -Qur’an. Buku ini adalah satu -satunya kitab tafsir yang secara khusus membahas tema gender dan Al -Qur’an. Berikut akan dipaparkan sejarah ringkas penulisan buku ini serta pokok bah asanya. 
Penelitian tentang topik buku ini di mulai pada tahun 1986. pada waktu itu, menurut pengakuan Amina, buku ini mulai dirancang dengan kesadaran yang masih naif tentang pentingnya mengembangkan tafsir Al -Qur’an yang menyangkut masalah perempuan . Amina juga mengaku kalau waktu ia tidak tahu bagaimana caranya. 
Pada awal penelitiannya untuk buku ini merupakan bagian dari kajian tingkat sarjana yang dilakukan Amina di The University of Michigan. Penelitian tersebut memakan waktu kurang lebih tiga tahun, 1986-1989. Masa ini menandai tingkat perkembangan pertama karya ini . 
Tingkat perkembangan kedua terjadi di Malaysia,1989-1992. sebagaimana telah diceritakan diatas, pada tahun 1989 Amina hijrah ke Malaysia, tetap menjalani karier Akademik (menjadi Asisten Guru Besar di International Islamic University), sekaligus menjadi seorang aktifis (terutama keterlibatannya di sekitar Islam). Pada periode ini ia bergaul dengan Dr Chandra Muzaffar, seorang aktifis dengan reputasi International. Dr Chandra Muzaffar inilah yang banyak memberikan sumbangan saran dan kritik sampai ketingkat redaksional – sehingga buku ini menjadi buku yang matang. Buku ini kemudian terbit di kual a lumpur pada tahun 1992. 
Perkembangan terakhir merupakan tanggapan balik Amina atas perbagai respon positif m aupun negatif, terhadap buku ini. Di Amerika Serikat, setelah kunjungan Amina kesana pada tahun 1994, buku ini menjulang menjadi Best Seller versi koran muslim Al-Qalam Di tahun yang sama versi terjemahan Bahasa Indonesia-nya terbit, kemudian pada tahun 1997 terbit versi terjemahan Bahasa Turki , disamping antusiasme tersebut, lantaran buku ini Amina juga kerap di tuding sebagai ” Barat” dan ” Feminis” dua julukan profokatif yang sama-sama dipakai dalam konotasi anti Islam. 
Ia kemudian memperluas edisi tahun 1992 itu, terutama dengan penjelasan yang panjang dan argumentatif tentang aspek metodologis buku ini. Edisi yang di perluas ini akhirnya terbit di Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1992. 

C. Pemikiran Amina Wadud  
Secara garis besar, pemikiran yang diusung ol eh Amina Wadud adalah pemikiran mengenai Gender dan Feminisme. Sebagaimana sebagian orang, Amina "mencurigai" peran ulama fikih dengan menganggap bahwa fiqh yang disusun dalam masyarakat yang didominasi laki - laki, seperti kawasan Timur Tengah ketika itu, sudah barang tentu akan melahirkan fikih bercorak patriarki dan berbau missoginis yang bias gender. 
Sebagai Agama yang membenarkan dan melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat untuk sekalian alam. Salah satu ajarannya yang sangat bernilai adalah keadilan antara sesama umat Islam. 
Ajaran Islam mngenai keadilan antara l aki- laki dan wanita, menimbulkan kegelisahan didiri Amina Wadud ketika melihat keterpurukan wanita dalam Islam di segala bidang. As a fully humam agency, ia mulai mencari penyebab dari keterpurukan tersebut dengan melihat kepada sumber ajaran Islam terkait dengan wanita. Ia dapati, bahwa mayoritas penafsiran dan hasil hukum Islam ditulis oleh Ulama' pria dan seringkali membawa bias pada pandangan mereka.
 1) Menurutnya, budaya patriarki telah memarjinalkan kaum wanita, menafikan wanita sebagai khalifah fil ardh, serta menyangkal ajaran keadilan yang diusung oleh wanita. 2) Ia tertantang dan berjuang (jihad) untuk melakukan reinterpretasi terhadap masalah tersebut dengan mengunakan metode Hermeneutik. 3) kegelisahan ini akhirnya menginspirasikan ditulisnya buku Qur’an and Women, karya yang membuat reformasi terhadap wanita Islam dan merupakan grand proyek intelektualnya sehingga pemikiran dan perannya mulai diperhitungkan. 
Perempuan merupakan manusia sejajar dengan laki - laki terbukti dengan perannya sebagai khalifah di bumi. Hal ini seiring dengan hasil kajian Amina Wadud tentang ketegasan Al -Qur’an terhadap kesamaan derajat wanita. Amina Wadud memandang hal ini dari sudut yang sederhana, kultum Muslim cenderung menganggap laki - laki dan wanita sebagai anggota umat manusia yang berbeda, sekalipun ada persamaan, hirierki atau unsur saling melengkapi. Bagaimana etos kerja intelektual Islam dapat berkembang kalau tidak ada perha tian yang jelas dan pasti terhadap suara kaum wanita, baik sebagai bagian dari suara itu maupun sebagai respon terhadap suara itu, Mungkin karena tidak adanya perhatian yang pasti inilah maka secara historis, bukan saja terjadi pengingkaran terhadap arti penting dari suara wanita, tetapi juga menganggapnya aurat atau tabu. Amina wadud menganggap pengingkaran ini sebagai suatu pelangaran besar terhadap martabat wanita sebagai manusia dan khalifah, atau pengembangan amanat Allah. meskipun sikap ini tidak dimaksudkan untuk memarjinalkan kaum wanita namun tidak ada bedanya sedikitpun tetap saja itu merupakan pelangaran. 

  D. Pemikiran Amina Wadud Tentang Feminisme  
  1. Relasi yang tidak setara antara Laki-Laki dan Perempuan 
a. Penciptaan Perempuan 
Dalam tradisi Islam di kenal dan di yakini ada empat macam cara penciptaan manusia yaitu : pertama : Diciptakan dari tanah (penciptaan Adam) terdapat dalam surat Al -Fathir :11, Ash -Shaff ;8 dan Al -Hijr :26. Kedua : Diciptakan dari tulang rusuk Adam (penciptaan Hawa) terdapat dalam surat An-Nisa’ :11, Al -A’raf :189, dan surat Al -Zumar :6. Ketiga : Diciptakan melalui prosesi kehamilan tanpa ayah secara biologis dan hukum minimal secara biologis semata (penciptaan Isa) terdapat dalam surat Al -Maryam :19-22. Keempat : diciptakan melalui kehamilan dengan adanya ayah secara biologis dan hukum minimal secara biologis semata (penciptaan manusia selain Adam, Hawa dan Isa) terdapat dalam surat Al -Mukminun :12-14 .
Adanya diskriminasi dan segala macam bentuk ketidaksetaraan gender yang menimpa kaum perempuan di lingkungan umat Islam berakar dari pemahaman yang keliru terhadap sumber ajaran Agama, sehingga menimbulkan sikap dan perilaku individual yang secara turun temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan gender. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai -nilai dan tafsir-tafsir ajaran a gama yang keliru mengenai keunggulan kaum laki - laki dan melemahkan kaum perempuan .  
Dalam kenyataannya status laki - laki dan perempuan berubah menjadi tidak setara, hal ini menyalahi desain yang telah direncanakan dan ditetapkan oleh Allah. Berangkat dari sini, keyakinan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki - laki, sehingga perempuan dianggap sebagai makhluk kedua yang tidak akan mungkin ada tanpa kehadiran laki - laki. Karena keberadaan perempuan sebagai pelengkap dan diciptakan hanya untuk tunduk di bawah kekuasaan laki - laki. Konsep mengenai penciptaan perempuan menurut Amina wadud perlu dikaji ulang, apakah betul perempuan diciptakan dari laki - laki (Adam) sehingga perempuan (Hawa) hanya meru pakan derivasi saja dari dan hanya menjadi pelangkap bagi laki - laki. Berakar dari keyakinan inilah yang menyebabkan terjadinya ketidaksetaraan antara laki - laki dan perempauan. Dalam hal ini munkin sangat berkaitan dengan satu ayat dalam Al Qur’an yaitu surat An-Nisa’ ayat 1 yang berbunyi :  
Artirnya : “Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada TuhanMu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah Menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu memintah satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mangawasi kamu. (Q.S.An-Nisa’ :1) 
Amina tidak menolak penafsiran bahwa yang dimaksud dengan Nafs Wahidah adalah Adam dan Zawjaha adalah Hawa. Tetapi Amina menegaskan bahwa kenyataan sejarah, tidaklah menunjukkan Allah memulai penciptaan manusia dari jenis kelamin laki - laki, ataupun merencanakan untuk memulai penciptaan manusia dalam bentuk seorang laki - laki dan tidak perna pula merujuk Adam sebagai asal usul manusia. Allah mengungkapkan dengan kata nafs yang secara Bahasa merupakan 
bentuk feminin (muannast) tetapi secara konseptual kata nafs tersebut mengandung makna netral, bisa merujuk kepada laki - laki dan bisa pula merujuk kepada perempuan .Tidaklah dipastikan bahwa Hawa adalah manusia pertama dari kalangan perempuan ataupun istri bagi Adam, seperti selama ini dipahami.Hal ini dapat dilihat dari kata zawj yang berbentuk mudzakkar, yang secara konseptual bersifat netral, tidak merujuk laki - laki ataupun perempuan. Secara umum kata zawj dalam Al -Qur ’an digunakan untuk menunjuk teman, pasangan dan kelompok. Karena sedikitnya informasi yang diberikan Al -Qur’an tentang penciptan zawj, maka para mufassir klasik akhirnya mengambil dari Bibel yang mengatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam  
Tentang penciptaan Hawa, Amina hanya menjelaskan bahwa kata min dalam bahasa Arab dapat digunakan sebagai proposisi (kata depan) “dari” untuk menunjukkan makna “mencarikan sesuatu dari sesuatu lainnya”, dan dapat digunakan untuk menyatakan sama macam atau jenisnya.  
Apabila min pada kalimat minha dalam surat An-Nisa’ ayat 1 digunakan fungsinya yang pertama (proposisi), maka maknanya bahwa Hawa diciptakan dari Adam, sebaliknya bila digunakan fungsi yang kedua, maka maknanya Hawa diciptakan dari jenis yang sama dengan Adam. 
Amina juga menepis mitos yang terlanjur mengakar di benak masyarakat, yaitu bahwa perempuan (Hawa) merupakan penyebab terlemparnya manusia dari surga. Anggapan semacam ini jelas tidak sejalan dengan Al -Qur’an, sebab peringatan Allah agar menjauhkan dari bujukan setan di tujukan kepada keduanya (Adam dan Hawa), kemudian keduanya memang tertipu oleh syetan. Di samping itu, karena kodrat dan keadaan biologisnya anggapan orang bahwa fungsi utama perempuan adalah melahirkan anak. Tetapi menurut Amina penekanan kata ”utama” itu mengandung konotasi negatif. Kata tersebut kerap kali diterapkan dalam pengertian bahwa kaum perempuan harus ”hanya” bisa menjadi ibu yang baik untuk mendidik anak dan melayani suami. Karena itu, keseluruhan kemampuan kaum perempuan harus diarahkan menjadi ibu yang ideal, agar bisa menjalankan fungsi utamanya dengan baik dan sempurna. Menurut Amina tidak ada istilah dalam Al -Qur’an yang menunjukkan bahwa melahirkan anak merupakan hal yang utama bagi perempuan. Tidak ada petunjuk yang diberikan bahwa masalah keibuan merupakan peran istimewanya bagi kaum perempuan.

b. Fadhalah 
Salah satunya sering dikutip tentang superioritas posisi laki - laki adalah terdapat pada surat An-Nisa’ ayat 34 yang berbunyi :
 
Artinya : ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita). Dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka...,(Q.S.An-Nisa’ :34) .
Para Aktifis feminis akan berasumsi bahwa ayat tersebut di tujukan kepada suami. Padahal pokok persoalan pertama yang harus dicatat menurut Amina yakni ayat tersebut ditujukan kepada Ar-Rijal (laki - laki) dan An-Nisa’ (perempuan), ayat itu ditujukan untuk semua laki - laki dan perempuan dalam masyarakat Islam. Kata kunci dalam kalimat pertama ayat ini adalah qowwamun. Qowwamun ini telah diartikan secara bervariasi yaitu sebagai pelindung dan pemelihara perempuan, atau bisa dikatakan sebagai penguasa perempuan. Menurut bahasa kata qowwamun, berarti pencari nafkah.  
Menurut Amina, bahwa semua laki - laki dalam kenyataannya adalah pemberi nafkah, tetapi masih ada juga laki - laki tidak bisa memberi nafkah pada istrinya. Dengan kata lain, pengumuman ini merupakan pernyataan umum menyangkut konsep Islam tentang pembagian kerja dalam sebuah keluarga atau masyarakat. Kenyataan bahwa laki - laki adalah qowwamun lantas perempuan tidak boleh bekerja atau menafkahi dirinya sendiri, karena alasan apapun dianggap bukan tempatnya atau alamnya, mengingat beban berat yang haru s dipikul yaitu harus melahirkan dan membesarkan anak, maka mereka tidak harus memiliki kewajiban tambahan mancari nafkah pada waktu yang bersamaan. 
Ungkapan al-rijal qawwamuna ala al-nisa’ tidak dapat dijadikan hujjah untuk menjegal pengembangan karier kaum perempuan. Yang dipesankan Agama adalah menjaga diri dalam kesopanan dan etika pergaulan hingga terhindar dari segala macam fitnah yang dapat menghancurkan bangunan sebuah keluarga. 
Menurut Amina ayat di atas bukan sekedar mencakup masalah ’kelebihan’. Ayat ini kerapkali di pandang sebagai satu-satunya ayat yang paling penting yang berkaitan dengan hubungan antara laki - laki dan perempuan. laki - laki merupakan qawwamuna ’ala (pemimpin-pemimpin 
bagi) perempuan-perempuan”. ”kelebihan” yang dimaksud oleh Amina disini berlandaskan pada dua hal yaitu : pertama : kelebihan macam apa yang telah diberikan dan kedua : apa yang telah mereka belanjakan dari harta mereka (untuk mendukung kaum perempuan) .
Menurut Amina laki - laki dapat menjadi pemimpin bagi perempuan dalam rumah tangga jika disertai dua keadaan. Keadaan pertama adalah punya atau sanggup membuktikan ”kelebihan”nya, sedangkan yang kedua adalah jika mereka mendukung kaum perempuan dengan mengunakan harta mereka. Jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi, laki - laki bukanlah pemimpin bagi perempuan. 
Tentu tidak secara otomatis setiap laki - laki (suami) memiliki kelebihan atas istrinya. Hak mendapat warisan lebih banyak dari perempuan memang sudah dijamin oleh Al -Qur’an, tetapi apakah warisan itu digunakan untuk mendukung perempuan (istri ) tentu harus dibuktikan, oleh sebab itu, bagi Amina Fadhdhala (kelebihan) tidak bisa tidak bersyarat kerena surat An-Nisa’ ayat 34 tidak menggatakan ”mereka” (jamak maskulin) telah dilebihkan atas ”mereka” jamak (feminin). Ayat itu menyebutkan ba’dl (sebagian lainya) penggunaan kata ba’dl berhubungan dengan hal -hal yang nyata teramati pada manusia. Tidak semua kaum laki - laki unggul atas kaum perempuan dalam segala hal. Sekelompok pria memiliki kelebihan atas kelompok perempuan dalam hal -hal tertentu. Demikian pula sebaliknya, perempuan juga memiliki kelebihan atas pria dalam hal -hal tertentu., jadi jika Allah telah menetapkan kelebihan sesuatu atas lainnya, itu tidak berarti maknanya selalu absolut.
Disamping itu, bukan berarti menunjukkan kepemimpinan laki - laki terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan. Dengan merujuk Sayyid Qutb, Amina mengatakan bahwa qiwamah diatas hanya berkaitan dengan urusan keluarga antara suami istri yang berupa sokongan meteriil. Qiwamah diatas lebih cenderung digunakan dalam hubungan fungsional suami istri terhadap kebaikan kolektif antara keduanya sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan.
Jadi, kelebihan laki - laki atas perempuan yang karenanya laki – laki menjadi pemimpin bagi perempuan adalah tidak lepas dari tanggung jawab yang dipikul oleh keduanya, demi menjaga keseimbagan hidup dalam masyarakat. Sementara secara biologis, istri bertanggung jawab melahirkan anak, suami bertanggung jawab terhadap nafkah istri sebagai perlindungan dan jaminan materiil, karena dia tidak boleh tidak harus mengemban tanggung jawab yang sangat besar itu.  
 2. Idealitas antara Laki-Laki dan Perempuan 
Begitu pentingnya kesadaran perempuan pada masa Rasulullah SAW, ada sebagian mereka bertanya kepada rosul ” ya Rosul kenapa hanya laki - laki saja yang disebut, kenapa tidak perempuan ? Bertepatan dengan hal tersebut kemudian Allah menurunkan ayat tentang perempuan, yang berbunyi :  
 
  Artinya : ”Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki perempuan yang mukmin. Laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang brpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatanya, laki-laki dan perempuan yang banyak (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang benar”.(Q.S. Ah-Ahzab :35 ) .
  Dari ayat diatas terlihat jelas bahwa Allah SWT tidak membedakan antara laki - laki dan perempuan. Siapa saja diantara mereka maka mendapatkan pahala yang setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat dan karena p ada dasarnya manusia di ciptakan sama, sekalipun mereka berasal dari bangsa ataupun suku yang berlainan. Meskipun Islam memberikan hak yang sama kepada perempuan, menurut Amina Islam juga menegaskan bahwa laki - laki dan perempuan tidak sama. Rosulullah melarang perempuan meniru laki - laki, Begitu juga laki - laki meniru perempuan. 
Perempuan secara filosofis memang lebih halus, lemah lembut dan lunak, sehingga mampu mengikuti perilaku anak-anak dan sabar dalam mengendalikan emosi didalam mengasuh anak. Sedangkan laki - laki secara filosofis lebih kuat dan lebih gesit, sehingga cepat melakukan tindakan, mampu melakukan perjuangan dan persaingan mengatasi kemelut dan kesulitan, serta mampu mempertahankan eksistensi dari keluarganya. 
 Penciptaan manusia di dalam Al -Qur'an memperlihatkan suatu hubungan khusus antara pencipta, Allah dan manusia yang Dia ciptakan.Hubungan ini merupakan dasar eksistensi Al -Qur’an dan untuk petunjuk yang dikaitkan dengan penciptaan. Pada saat Adam turun kebumi dasar hubungan yang ditetapkan antara pencipta dan manusia yang diciptaka-Nya di sempurnakan melalui petunjuk atau wahyu. Allah berfirman dalam surat At-Thaha ayat :123 yang berbunyi : 
 
 Artinya : ”Turunlah kalian berdua ( setan dan manusia) dari sini, satu sama lain diantar kalian saling bermusuhan, tetapi jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barang siapa mengikuti petunjuk -Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan menderita”. 
(Q.S.Thaha :123). 
Di hadapan Allah laki - laki dan perempuan adalah sama. Dalam ibadah keduanya mempunyai pahala yang sama. Kepemimpinan perempuan dalam sholat juga sama pahalanya dengan kepemimpinan laki - laki. Islam bukan megutamakan hubungan dengan Allah, tapi juga dengan manusia. Gaya hidup patriarkhi, telah menimbulkan penderitaan bagi kaum perempuan. Banyak keadilan dan kasih sayang Tuhan yang tercermin dalam Al -Qur ’an tentang perempuan, tetapi itu semua bertolak belakang ketika melihat ketidakadilan dan perlakuan tidak menusiawi yang merendahkan perempuan muslim yang sering terjadi dalam kehidupan nyata.  
Hubungan yang dinamis antara sang pencipta dan ciptaan -Nya juga di gambarkan dengan ruh Allah yang di tiupkan kepada manusia, laki - laki dan perempuan. Bila ruh petunjuk membantu dalam perjuangan untuk lulus ujian di bumi, untuk melawan godaan setan dan untuk mencapai kabahagiaan abadi. Walaupun kaum laki - laki dan perempuan merupakan tokoh yang saling membentuk satu kesatuan yang penting dalam penciptaan manusia, namun tidak ditegaskan mengenai fungsi atau peran kulturnya yang khusus pada saat diciptakan. Pada saat itu, Allah menetapkan ciri -ciri tertentu yang berlaku untuk semua universal untuk semua manusia dan tidak berlaku khusus untuk satu gender. 
Asal dari seluruh manusia adalah nafs yang satu, yang merupakan bagian dari satu sistem kesatuan –pasangan : nafs dan zawjnya. Bahwa semua manusia berasal dari titik mula yang sama. Titik mula tersebut di gambarkan dalam kisah penciptaan dengan mengunakan istilah nafs, karena berasal dari titik mula yang sama. Mempunyai tujuan yang sama : dari satu ke banyak dan kembali kesatu lagi.
 Menurut Amina bahwa Hawa adalah pasangan (zawj) dari Adam. Pasangan yang dibuat dari dua bentuk yang saling melengkapi dari satu realitas tunggal. Dengan sejumlah perbedaan sifat, karekteristik dan fungsi, 
tetapi kedua bagian yang selaras ini pas saling melengkapi sebagai kebutuhan satu keseluruhan. Setiap anggota pasangan memasyarakatkan adanya anggota pasangan lainnya dengan logis dan keduanya berdiri tegak hanya atas dasar hubungan ini bagi Amina penciptaan Hawa, merupakan bagian rencana penciptaan Adam. Dengan demikian keduanya sama pentingnya.
  Penciptaan Adam dan Hawa, Al -Qur’an yang dipegang oleh banyak orang Islam, Nasrani, dan Yahudi bahwa perempuan diciptakan tidak hanya dari laki - laki, tapi juga untuk laki - laki. Dengan kata lain, bahwa Al -Qur ’an tidak membuat perbedaan diskriminasi antara laki - laki dan perempuan, semuanya sama dihadapan Allah. Allah menciptakan semua itu untuk tujuan tidak untuk bermain-main. Manusia yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk untuk mengabdi kepada Allah, karena pengabdian kepada Allah tidak bisa dilepaskan dengan pengabdian kepada manusia.  
Dalam Al -Qur’an, tidak hanya menegaskan bahwa laki - laki dan perempuan setara dalam pandangan Allah. Tapi juga merupakan anggota dan pelindung satu sama lain. Dengan kata lain, Al -Qur ’an tidak hanya menciptakan urutan yang menetapkan laki - laki diatas perempuan ( sebagaimana dilakukan oleh banyak perumus Nasrani). Al -Qur’an juga tidak menempatkan laki - laki dan perempuan dalam suatu hubungan yang bermusuhan. Mereka diciptakan sebagai makhluk yang setara dari penciptaan alam semesta yang Maha Adil dan Maha Pengasih, yang mengiginkan hidup dalam keharmonisan dan kesalehan bersama-sama. 
Menurut Sayid Qutb bahwa laki - laki dan wanita, keduanya adalah makhluk ciptaan Allah.........tidak perna diciptakan dengan maksud ditindas oleh makhluk ciptaan lainnya. Baik laki - laki dengan perempuan adalah anggota dari lembaga masyarakat yang terpenting, yakni keluarga. Keluarga dimulai oleh perkawinan antara seorang laki - laki dan wanita. Di dalam keluarga, masing-masing mempunyai tanggung jawab tertentu. Tanggung jawab utama wanita adalah melahirkan anak dan tanggung jawab suami adalah berupa dukungan fisik dan dukungan material. Dengan demikian,akan terciptalah hubungan yang sejajar dan saling menguntungkan antara laki -laki dan perempuan.  
Allah menciptakan laki - laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat. Manusia diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk. Oleh kearena itu Al -Qur ’an tidak mengenal perbedaan antara laki - laki dan perempuan karena dihadapan Allah laki - laki dan perempuan memiliki derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara laki - laki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.  
Allah telah menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu laki - laki dan perempuan, supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki - laki dan perempuan serta agar saling mengenal. Ini menunjukkan adanya timbal balik antara laki - laki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya. 
Allah secara khusus menunjuk kepada perempuan maupun laki - laki untuk menegakkan nilai -nilai Islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah juga memberikan peran dan tanggung jawab yang sama antara laki - laki perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allah pun memberi sanksi yang sama terhadap perempuan dan laki - laki untuk semua kesalahan yang dilakukan. Kedudukan dan derajat antara laki - laki dan perempuan di mata Allah sama, dan yang membuatnnya tidak sama hanya keimanan dan ketaqwaannya. 
Menurut Dr. Nasaruddin Umar ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada dalam Al -Qur’an bahwa perempuan dan laki - laki sama-sama dihadapan Allah dalam kapasitas sebagai hamba, Kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi, perempaun dan laki - laki sama-sama berpotensi meraih prestasi. tidak ada perbedaan antara laki - laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal, sebagai orang yang bertaqwa. Dan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah di muka bumi. 
   
   
D. KESIMPULAN.
Menyimpulkan dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berhubungan dengan masalah gender dan feminisme menjadi asal muara dari perbedaan persepsi dan konsep Amina wadud dengan kebanyakan pemikir-pemikir islam lainnya,yang dalam hal ini mereka lebih suka dan “taat” terhadap aturan-aturan baku yang selama ini telah terbiasa dikonsepkan dan diperaktekkan oleh mayoritas muslim, tapi Amina wadud dalam ini merasa ada sesuatu yang tidak adil terhadap wanita pada khususnya dan “pembaharu-pembaharu” agama pada umumnya.
Maka kemudian Amina wadud dan kawan-kawan melihat dan menilai diperlukannya penafsiran ulang terhadap ayat-ayat yang berat sebelah menurut mereka,karena dalam hal ini justru akan membuat image dan citra islam akan semakin buruk dan cenderung menguntunkan salah satu fihak saja kalau hal ini dibiarkan terus menerus.
Tetapi kemudian pertanyaan selanjutnya adalah apakah telah benar konsep dan pemahaman baru Amina wadud tersebut ataukah akan semakin mengaburkan identitas asli dari Islam dan kebenaran ajarannya..dalam hal ini masih sangat banyak hal yang harus dikaji dan di bahas lebih seksama lagi agar masing-masing pihak tidak sedemikian gampangnya mengklaim kebenaran pemikirannya dan menyalahkan pemikiran orang lain.
Bagaimanapun juga Amina wadud setidaknya telah berusaha untuk memberikan sudut pandang yang lain,sehingga hal tersebut bisa membuat kita untuk terus menggali dan mempelajari Al-Quran,kitab ALLAH SWT yang menjadi sandaran semua kaum muslimin.








E. DAFTAR PUSTAKA.
1. Amina Wadud. Qur’an Menurut Perempuan Jakarta,serambi 2001
2. Http:/www.en.Wikipedia.Com  
3. Http:/www. Bingregory.com/Archive/2003/06/17 dari Amina Wadud Html 

4. Nur Jannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan, (Yogyakarta : Lkis, 2003)
5. Riffat Hasan, Setara Dihadapan Allah: Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriakhi, Terj Tim LSPPA (Jakarta : LSAF,S1990.

6. Muhammad Thalib, Solusi Terhadap Dilema Wanita Karier, (Yogyakarta : Wihdah Press, 1999)
7. Moh Shofan, Jalan Ketiga Pemikiran Islam, (Yogjakarta : IRCisoD,2006)
8.Yuhanar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997)
9. Http:/www.Campus-Watch.Org/Article/Id/2128